Belajar dari biografi

Biografi. Perjalanan hidup seseorang. Wah. Ini salah satu bacaan yang paling saya sukai. Untuk mengetahui mengapa dia melakukan sesuatu, saya perlu belajar dari perjalanan hidupnya. Dan seringkali setelah mengetahui itu saya menjadi lebih apresiasi terhadap karya-karyanya.

Biografi dari orang asing selalu lebih menyenangkan karena yang diceritakan bukan hanya keberhasilannya saja, tetapi kegagalan demi kegagalan juga. Malah, seringkali porsi kegagalan ini jauh lebih banyak dari suksesnya. Mungkin kalau orang Indonesia, malu untuk menceritakan kegagalan ya?

Dahulu saya melakukan ini dengan membaca buku-buku. Sekarang sudah ada YouTube dan Netflix yang mendokumentasikan ini semua. Asyik. Waktu untuk belajarnya jauh lebih singkat, meskipun banyak detail yang dihilangkan. Jadi buku memang selalu lebih baik. Asal kita punya waktu lebih banyak saja. Tapi memang menonton video jauh lebih mudah. Sayangnya video-video masih jarang tersedia secara gratisan. Saya terpaksa menontonnya di Netflix yang berbayar. Itu salah satu alasan saya berlangganan Netflix. Sayang sekali, saat ini Netflix difilter oleh ISP Indihome.

Biografi yang baru-baru ini saya lihat antara lain:

  • Annie Leibovitz: fotografer terkenal. Awalnya dia terkenal sebagai fotografer dari Rolling Stones (band dan majalah). Foto-fotonya banyak yang menjadi legendaris.
  • Dolly Parton: penyanyi country legendaris dengan suara yang khas dan potongan rambut (wig) yang khas juga.
  • Quncy Jones: produser legendaris. Saya baru sadar bahwa dia termasuk generasi “lawas”, yaitu generasi masa Miles Davis, Frank Sinatra, dan seterusnya. Perkenalan saya sebetulnya melalui album-album yang lebih “baru”, seperti albumnya Michael Jackson. Etika kerjanya luar biasa. Saya yang super sibuk saja mungkin tidak sanggup mengalahkan kekuatan fisiknya.

Biografi siapa lagi yang pantas untuk ditonton?

Pusing Dengan Bahasa Indonesia

Sudah berkali-kali saya mencoba membaca buku terjemahan dan gagal untuk memahaminya. Pusing. Bagi saya ternyata memang masih lebih mudah memahami buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa aslinya, bahasa Inggris maksudnya. Bukan maksud saya untu sok-sokan Ingris-Ingrisan, tapi kenyataannya memang demikian.

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan sebuah buku terjemahan. Saya coba baca lagi. Dan hasilnya, pusing lagi. Ini bukunya.

photo6275926025779128563
Contoh buku terjemahan yang membingungkan

Begitu dimulai, di bagian awalnya (pada halaman “ucapan terima kasih”) ada tulisan seperti ini, “istri ahli dan putri tanpa sejawat“. Anda tahu itu maksudnya apa? Nampaknya saya harus cari tahu kalimat aslinya seperti apa.

Mungkin masalah sebenarnya adalah penerjemah terlalu harfiah dalam menerjemahkan sehingga makna aslinya hilang. Jadinya malah membingungkan. Ada banyak “idiom-idiom” dalam bahasa Inggris yang seharusnya tidak diterjemahkan begitu saja. Pusing.

Kembali ke buku-buku berbahasa Inggris deh.

Revolusi Industri 4.0

Saat ini, salah satu topik yang sering menjadi bahasan adalah “revolusi industri 4.0”. Bahkan, topik ini malah terlalu sering dibahas tanpa memahami apa sebetulnya maknanya. Hal ini akan saya bahas dalam update berikutnya dari tulisan ini. (Atau baca referensi di “Tautan tekait”.)

Salah satu cara untuk memahami apa itu revolusi industri 4.0 dan efeknya adalah dengan cara mencari literatur yang bagus. Salah satu buku yang bagus tentang hal ini adalah buku dari Klaus Schwab, “The Fourth Industrial Revolution”.

Buku ini membahas berbagai aspek (dan efek) dari revolusi industri 4.0. Sebagai contoh, bagaimana kebijakan pemerintah terkait dengan efek yang akan ditimbulkannya? Salah satu efek yang dikhawatirkan adalah adanya tenaga kerja yang digantikan oleh mesin (robot, artificial intelligence atau AI). Padahal banyak negara berkembang yang mengandalkan industri yang padat karya. Regulasi yang berlebihan – misal melarang penerapan AI – akan menyebabkan kita menjadi tertinggal. Laggard. Akibatnya malah tidak dapat meraup manfaat yang ditimbulkan oleh revolusi industri 4.0 ini.

Buku Klaus Schwab, “The Fouth Industrial Revolution”

Sebetulnya saya ingin membahas lebih lanjut lagi tentang buku ini, tetapi saya sendiri juga belum selesai membacanya. Ini adalah salah satu buku yang harus dibaca pelan-pelan. Membaca dua halaman, berhenti. Mikir dulu. Jadinya sangat lama bagi saya untuk menyelesaikan buku ini. Memang tidak ada yang mengejar-ngejar sih, tetapi kan masih ada buku-buku lain yang harus dibaca.

Tujuan dari tulisan ini adalah mengajak Anda untuk membaca buku ini.

Tautan terkait.

Sodori Buku

Saking capeknya, semalam malah saya tidak bisa tidur nyenyak. Paginya main bola dan dilanjutkan dengan pertemuan startup baru. Pokoknya capeklah. Siang sebetulnya sempat tertidur sebentar. Sorenya sudah ada tamu. Singkatnya sibuk juga Sabtu ini. Walhasil, malam hari capek dan malah tidak bisa tidur.

Solusi saya untuk situasi seperti ini tetap sama, sodori buku. Ambil beberapa buku yang agak tebal. Tidak ada yang spesifk dari buku-buku tersebut. Asal tebal saja. Letakkan di samping tempat tidur. Mending mana, tidur atau baca buku. Biasanya pilihannya jatuh ke … tidur. hi hi hi. Jadi buku-buku ini adalah obat tidur bagi saya.

DSC_7046 books_0001
buku-buku untuk memaksa tidur

 

 

Selamat membaca. Eh, selamat tidur …

Peluncuran Buku Digital Indonesia

Hari Kamis lalu (6 Juli 2017) diadakan peluncuruan Buku “Digital Indonesia: Connectivity and Divergence” di ITB. Buku yang diedit oleh Edwin Jurriens dan Ross Tapesll ini merupakan hasil kegiatan “Indonesia Project” yang dimotori oleh ANU (the Australian National University). Buku ini sangat penting karena seringkali kita kekurangan referensi (apalagi yang akademik) tentang situasi “digital” di Indonesia. Nah, sekarang tidak perlu mencari-cari lagi.

Saya ikut terlibat dengan menulis satu bab di dalamnya, tentang keamanan teknologi informasi. (Tampilannya dapat dilihat di bawah ini.) Materi ini juga sudah saya presentasikan di Canberra dan Perth. Kamis lalu, update dari materi ini juga saya presentasikan di ITB.

photo6280633421604693950

Bahasan dari buku ini cukup komplit. Nanti akan saya tampilkan daftar isinya di sini. Sementara ini saya mau lapor itu dulu. hi hi hi. Mengenai bagaimana cara memperoleh buku ini juga akan saya beritahukan segera.

Buku ini berisi empat bagian (5 parts); connectivity (2-4), divergence (5-7), identity (8-10),  knowledge (11-12), dan commerce (13-15). Masing-masing isinya adalah sebagai berikut:

  1. Edwin Jurriens & Ross Tapsell, “Challenges and opportunities of the digital revolution in Indonesia”
  2. Yanuar Nugroho & Agung Hikmat, “An insider’s vide of e-governance under Jokowi: political promise or technocratic vision?”
  3. Emma Baulch, “Mobile phones: advertising, consumerism, and class”
  4. Ross Tapsell, “The political economy of digital media”
  5. Onno W. Purbo, “the digital divide”
  6. Usman Hamid, “Laws, crackdowns and control mechanisms: digital platforms and the state”
  7. Budi Rahardjo, “The state of cybersecurity in Indonesia”
  8. John Postill & Kurniawan Saputro, “Digital activism in conteporary Indonesia: victims, volunteers and voices”
  9. Martin Slama, “Social media and Islamic practice: Indonesian ways of being digitally pious”
  10. Nava Nuraniyah, “Online extremism: the advent of encrypted private chat groups”
  11. Kathleen Azali, “Digitalising knowledge: education, libraries, archives”
  12. Edwin Jurriens, “Digital art: hacktivism and social engagement”
  13. Mari Pangestu & Grace Dewi, “Indonesia and digital economy: creative destruction, opportunities and challenges”
  14. Bode Moore, “A recent history of the Indonesian e-commerce”
  15. Michele Ford & Vivian Honan, “The Go-Jek effect”

Selamat menikmati 🙂

Hobby Membaca

Dalam sebuah wawancara, terjadi ini. Ini bukan rekayasa, tetapi kejadian sebenarnya. Swear.

Tanya (kami): “Hobby apa?”
Jawab: Membaca.
Tanya: Oh ya? Membaca apa?
Jawab: Buku. Fiksi.
Tanya: Contoh buku yang dibaca apa?
Jawab: Harry Potter [terus terdiam, seolah khawatir kami tidak dapat mengikuti jawabannya]
Tanya: Coba ceritakan secara singkat, inti ceritanya bagaimana.
Jawab: … [agak ragu-ragu]
Penanya: Jangan ragu, kami juga hobby membaca kok.
Jawab: … [masih ragu] …

Ha ha ha. Salah dia mengatakan hobbynya membaca. Lah, kami-kami ini hobbynya membaca. Bahkan mungkin lebih gila membacanya daripada dia. Yang Harry Potter-pun kami baca dalam Bahasa Inggris-nya. Belum tahu dia jenis dan jumlah bacaan kami. Ha ha ha.

Tanya: Sudah baca Tolkien?
Jawab: … [agak bingung]. Belum

Nah. Dicukupkan pertanyaannya. Tadinya mau bertanya siapa pengarang favoritnya. Adakah yang kekinian? Semacam Neal Stephenson, gitu. [Kembali membaca ah.]

Politik dan Pesan Kebencian

Baru saja saya mendapat kiriman beberapa buku. Salah satu bukunya adalah “Hate Spin: the manufacture of religious offense and its threat to democracy”, karangan Cherian George.

P_20170412_201600 buku hate_0001

Bahasan buku ini tampaknya cocok dengan situasi politik di Indonesia saat ini. Ada banyak pesan-pesan kebencian (SARA) yang beredar hanya sekedar untuk memuaskan nafsu politik praktis.

Mungkin banyak (?) orang yang mengira bahwa masalah ini adalah masalah di Indonesia saja. Padahal tidak. Di dalam buku ini dibahas tentang kasus-kasus di India dan Amerika, selain tentunya di Indonesia. Tiga negara itu dipilih karena mereka merupakan negara demokrasi terbesar di dunia. Kasus di ketiga negara itu berbeda; Hindu di India, Kristen di Amerika, dan Islam di Indonesia.

Salah satu poin utama yang ingin disampaikan oleh sang pengarang adalah pesan-pesan kebencian itu sengaja dibuat oleh pelaku politik (dia menyebutnya political entrepreneurs) untuk kepentingan politik. Perhatikan kata kuncinya adalah SENGAJA. Masyarakat terpicu (tertipu) dengan teknik-teknik ini. Ah.

… it became clear that hate spin agents, like leaders of social movements, try to get people thinking about a situation in ways that produce solidarity and support for their cause. To achieve this, they engage in cultural framing work and cognitive interventions. As the sociologist William Gamson has argued, “injustice frames” can be particularly effective for mobilizing supporters. Injustice frames create narratives that persuade an in-group that powerful outsiders are violating its interests and values. Anchoring injustice frames on powerful symbols may be enduring, as in the case with the Holocaust for Jews, but many have a shorter shelf life, requiring activists to constantly on the lookout for fresh ones. This can explain the enthusiasm with which hate spin agents declare a book or video to be intolerably offensive to their community.

Perhatikan bahwa hate spin agents (yang biasanya dikatikan dengan political entrepreneurs) selalu mencari hal-hal yang dapat memicu kemarahan komunitas.

Bagian pentingnya yang mungkin relevan dengan situasi di Indonesia saat ini:

… This can explain the enthusiasm with which hate spin agents declare a book or video to be intolerably offensive to their community. …

Itulah sebabnya kita perlu belajar, membaca buku, untuk mengetahui hal ini. Kita tidak perlu terjun ke politik praktis, tetapi jangan buta politik juga.

Belajar dulu yuk.

Membaca Buku

Anak muda Indonesia jaman sekarang nampaknya tidak suka membaca buku. Padahal jaman sekarang sudah ada eBooks. Semestinya tidak ada lagi hambatan untuk membaca buku. Kalau jaman dahulu kan harus cari buku fisik. Kalau pesan belipun harus nunggu lama dan mahal. Mungkin justru kemudahan itu yang membuat orang menjadi malas?

Saya sudah mencoba menghimbau dan menyindir mahasiswa saya supaya gemar membaca. Hasilnya masih nol besar. Mungkin saya harus memberikan tugas baca kepada mereka. Kemudian harus disertakan juga foto halaman yang mereka baca (atau malah sekalian foto mereka membaca ha ha ha) sebagai bukti. Hi hi hi.

Masalahnya, tanpa membaca ilmu kita rendah sekali. Sudah ilmu rendah, banyak komentar pula (di media sosial misalnya). ha ha ha. Jadinya kacau balau.

Baca, baca, dan baca!

Resensi: Spammer

Tidak banyak novel atau cerita di Indonesia yang bersifat agak teknis. Kebanyakan ceritanya adalah keseharian dan umum-umum saja. Maka adanya sebuah cerita yang teknis – seperti spammer (orang yang melakukan spamming) – sangat menarik bagi saya. Apa lagi latar belakang saya memang urusan komputer.

Saya menerima buku ini, sebuah novel thriller karangan Ronny Mailindra dengan judul “Spammer”. Begitu terima, tidak langsung saya baca karena kesibukan saya. Begitu ada waktu senggang, saya cicil bacanya.

p_20161209_132557-spammer-0001

Novel ini bercerita tentang seorang spammer (yang kerjanya mengirim spamming untuk mendapatkan keuntungan dari orang-orang yang kena spam) yang kena batunya. Tanpa sengaja, berkas yang dia curi dari sebuah komputer tenyata sebuah barang bukti kejahatan. Penjahatnya menyewa hacker untuk memastikan berkas tersebut musnah. Maka terjadilan perang antar kedua orang ahli komputer itu.

Awalnya ceritanya agak lambat (untuk selera saya). Kemudian mulai menjadi cepat dan seru sehingga saya harus menyelesaikannya dengan cepat. (Saya baca dalam dua hari. Bahkan ada yang sampai lewat tengah malam.)

Seringkali dalam film atau novel yang bercerita tentang teknis komputer (IT) ada hal-hal yang tidak akurat. Misal, nomor IP yang digunakan adalah 333.123.123.123. Padahal angka yang digunakan tidak boleh lebih dari 255 (karena 8-bit). Atau perintah-perintah yang diketik di layar salah atau tidak benar. Hal-hal seperti itu sering mengesalkan karena kita jadi tahu bahwa film/novel itu ngasal. Nah, buku ini tidak begitu. Sang pengarang memang punya latar belakang IT sehingga hal-hal yang teknis cukup akurat.

Nilai saya adalah 4,5 dalam skala 5. (Atau kalau dibuat skala 10 adalah 9. hi hi hi.) Recommended bagi orang teknis.

Waktunya Membaca

Beberapa minggu terakhir, waktu saya banyak disita untuk menghasilkan sesuatu. Menulis. Presentasi. To publish. Sayangnya menulis di blog ini malah menjadi berkurang. Hadoh. Harus diperbaiki ini.

Nah, sekarang waktunya saya untuk membaca. Mengisi otak. Menambah wawasan. Mengasah kepekaan hati. Tumpukan bahan bacaan harus dikurangi.

Mari …

Mau Diapakan Majalah Ini?

Pertama, saya harus mengaku dulu. Saya tukang mengumpulkan majalah dan buku. Ada banyak majalah yang tidak dapat saya buang. Kalau buku mungkin mudah untuk menerima agar dia tetap disimpan. Nah kalau majalah? Sebagian besar orang akan membuang majalah. Saya menyimpannya. Untungnya majalah yang saya baca adalah majalah teknis, seperti IEEE Spectrum, IEEE Computer, dan seterusnya.

Ini adalah foto yang saya ambil beberapa menit yang lalu.

P_20160724_125325-01

Ini adalah tumpukan majalah IEEE Spectrum yang berada di lantai. Tadinya dia berada di atas meja kerja, tetapi saya turunkan karena mejanya mau dibersihkan dahulu. Masih ada banyak tumpukan lagi yang sejenis. Banyak sekali. (Tidak saya foto karena mengerikan. hi hi hi.)

Saya tahu bahwa majalah-majalah ini – misal yang IEEE itu – ada versi digitalnya, tetapi saya masih suka memegang versi fisiknya. Tampilannya lebih indah dan saya dapat membuka halaman-halaman dengan mudah. Kalau nanti bentuknya digital, saya khawatir akan susah menemukan mereka kembali. (Ya saya tahu ada fitur search dan sejenisnya, tetapi mereka tidak efektif kalau saya mencari tulisan di majalan dalam bentuk fisik ini.) Suatu saat saya akan pindah ke versi digital. Mungkin. Untuk sementara ini saya masih suka versi fisik.

Masalahnya adalah dimana saya dapat menyimpan mereka? Lemari buku saya sudah penuh dengan buku-buku. Bahkan buku-buku juga berterbaran di segala penjuru rumah. Sering saya heran kalau bertamu ke rumah orang dan melihat tidak ada buku di rumah mereka. Mungkin buku-bukunya sedang bersembunyi di ruang perpustakaan mereka?

Kembali ke masalah “menyampah” majalah ini. Jadi majalah-majalah ini harus saya apakan?

Tolong!

Buku Zero to One

Horeee … Selesai baca satu buku lagi. I’m on a roll. Lagi lancar baca buku. Setelah beberapa hari yang lalu menyelesaikan satu buku, barusan selesai baca satu buku lagi. Buku yang baru selesai saya baca adalah “Zero to One” karangan Peter Thiel.

zero-to-one-cover-art

Buku yang ini sebetulnya sudah lama dimulai bacanya, tetapi tidak selesai-selesai. “Masalahnya” (kalau bisa disebut masalah) adalah banyak poin-poin bagus di dalam buku ini sehingga saya harus berhenti dan meresapi poin itu. Baca lagi, berhenti lagi, mikir dulu. Setelah beberapa hari, baca lagi, berhenti lagi, dan seterusnya. Itulah yang menyebabkan lambatnya selesai membaca buku ini. Jadi, buku bagus justru membuat lambat selesai bacanya.

Buku ini bercerita tentang bagaimana membuat perusahaan (startup) yang bagus. Peter Thiel ini dikenal sebagai salah satu pendiri dari PayPal. Sekarang PayPal sudah mereka jual. Pendiri-pendiri PayPal dikenal sebagai “Mafia PayPal” dan mereka kemudian mendirikan berbagai perusahaan yang juga sama (atau lebih) sukses; YouTube, Tesla, SpaceX, dan seterusnya. (Salah satu yang sekarang sedang ngetop tentunya adalah Elon Musk.)

Apa itu “0-to-1”? Maksudnya zero (0) adalah tiada. Tidak ada. Sementara zone (1) adalah ada. Jenis perusahaan yang didirkan sebaiknya adalah yang memberikan layanan atau membuat produk yang dahulu belum ada. Sebagai contoh, dulu belum ada sistem operasi komputer maka kemudian ada Microsoft yang membuat sistem operasi MS-DOS. Dahulu belum ada tempat orang kongkow-kongkow online, sekarang ada Facebook. Kalau membuat kantor cabang dari sebuah usaha yang sudah ada (membuka di kota lain, di negara lain) itu namanya dari “1” ke “n“. Ini tidak terlalu menarik.

Startup yang sukses adalah yang membuat sesuatu yang baru. Jadi jika ada yang ingin membuat sesuatu yang mirip Facebook, Twitter, Google, atau sejenisnya akan sulit untuk sesukses mereka. The next big thing tidak mungkin search engine seperti Google, misalnya.

Selain membuat hal yang baru, buku ini juga menguraikan apa-apa kunci kesuksesan lainnya. Misalnya, kalau kita membuat sebuah produk (teknologi) yang mirip dengan yang sudah ada seperti sekarang maka dia harus minimal 10 kali lebih hebat dari yang sudah ada. (Istilahnya adalah “one fold better”.) Kalau hanya lebih bagus, 20% lebih bagus atau bahkan dua kali lipat lebih bagus, tidak cukup untuk menarik orang ke produk kita. Poin ini juga menarik.

Selain poin di atas, masih banyak poin-poin lain yang penting. Itulah sebabnya saya banyak berhenti membaca buku ini. Mencoba mencerna dahulu poin yang dimaksud. Apa saja poin-poin yang dibahas? Silahkan baca bukunya.

Pokoknya buku ini adalah bacaan wajib bagi yang ingin membuat Startup. Sangat direkomendasikan.

 

Kecepatan Membaca Buku

Beberapa tahun terakhir ini saya agak kesal kepada diri sendiri. Pasalnya kecepatan membaca buku saya sangat menurun. Banyak buku yang tidak selesai dibaca. Biasanya awal-awalnya cepat, terus berhenti.

Ada beberapa kemungkinan penyebab turunya kecepatan baca saya. Pertama, saya harus menggunakan kacamata baca (kacamata plus). Usia ternyata tidak bisa dibohongi. Begitu menginjak usia tertentu, langsung mata menjadi plus. Silahkan tunggu saja. hi hi hi. Nah, begitu pakai kacamata saya agak susah membaca karena kadang kacamata tidak ada atau saya ingin membaca sambil selonjoran (tiduran), yang mana ini menyulitkan bagi kacamata.

Kemungkinan kedua, yang membuat saya lambat menyelesaikan bacaan buku adalah bukunya sendiri kurang menarik untuk diselesaikan. Ya, menyalahkan orang lain memang yang paling gampang. Salahkan bukunya saja. hi hi hi. Tapi, ini serius lho. Kalau bukunya bagus, pasti saya baca sampai tuntas.

Dan ini yang terjadi dalam 3 bulan terakhir. Saya menyelesaikan dua buku! Masing-masing saya selesaikan kurang dari seminggu. Yang pertama adalah buku tentang Edward Snowden itu. Yang ini cepat saya selesaikan karena harus membuat resensi.

Yang kedua adalah buku yang baru beberapa hari yang lalu saya selesaikan. “How to capture an invisible cat” oleh Paul Tobin.

P_20160620_210801 invisible cat 0001

Ceritanya saya melihat buku ini di airport ketika menuju ke Jogja minggu lalu. Gambarnya yang pertama kali membuat saya tertarik. (Padahal gambar sampul buku yang sama di luar negeri berbeda gambarnya.) Ah saya beli saja. Ternyata bagus bukunya. Lucu. Akhirnya buku ini juga saya selesaikan dalam beberapa hari saja. (Resensinya ada di Goodreads saya.)

Mudah-mudahan kecepatan membaca buku saya bisa lebih baik lagi. Atau, setidaknya, sama seperti sekarang. Nah, tinggal mencari buku-buku yang bagus.

Resensi Buku: The Snowden Files

Dua minggu lalu, saya dihubungi oleh seorang kawan. Katanya apakah saya bisa mereview sebuah buku. Soal baca buku – dan dikasih buku – tentu saja saya senang. Hanya saja saya belum pernah melakukan resensi buku di muka publik. Tapi, saya terima saya tantangan ini.

Buku yang diajukan adalah, The Snowden Files. Waw. Menarik. Ini buku terkait dengan teknologi dan security. Bidang saya. Semakin okelah. Kemon!

Buku saya terima sehari kemudian dan mulai saya baca dengan cepat. Akhir-akhir ini kecepatan baca saya menurut dengan drastis. Ini justru kesempatan untuk memaksa diri sendiri untuk lebih cepat dalam membaca.

DSC_3100 snowden 1000

Minggu lalu, hari Rabu pagi, acaranya dilakukan. Saya memberikan resensi buku saya. Sementara itu acaranya adalah tentang cybersecurity dan saya malah tidak bicara tentang itu. ha ha ha.

The Snowden Files bercerita tentang kasus Edward Snowden yang menjadi terkenal karena membocorkan rahasia dari NSA, salah satu agen keamanan di Amerika Serikat. NSA dikatakan menyadap negara-negara lain. Terkait dengan dokumen NSA itu ada banyak rahasia-rahasia negara lain. Maka ributlah dunia.

Sebetulnya sudah menjadi rahasia umum (artinya semua orang tahu) bahwa Amerika melakukan penyadapan ke seluruh dunia. Dokumen ini menunjukkan buktinya. Sah! Bahwa memang Amerika melakukan penyadapan terhadap seluruh dunia termasuk sekutunya dan partner dekatnya, Inggris. Seru. Ini partnernya sendiri lho. Termasuk yang juga disadap adalah pimpinan negara Jerman.

Yang membuat Snowden membocorkan dokumen-dokumen NSA ini sebetulnya bukan masalah penyadapan yang dilakukan Amerika terhadap negara lain, tetapi justru penyadapan yang dilakukan oleh Amerika terhadap warga negaranya. Ini merupakan tindakan yang tidak sah secara hukum di Amerika. Snowden sangat terusik dengan hal ini. Inilah yang membuat dia membocorkan dokumen-dokumen NSA yang berisiko tinggi kepada nyawanya.

Indonesia juga disebut secara singkat. Bahwa pak SBY, sebagai presiden saat itu, disadap melalui Australia. Ya begitulah. Ini sempat menjadi keributan di media Indonesia.

Yang menarik dari buku ini adalah cara menceritakannya. Tidak kering. Ceritanya seperti novel. Ini mengingatkan saya akan buku “Take Down: the pursuit of and capture of Kevin Mitnick, America’s Most Wanted Man“, yang bercerita tentang pengejaran hacker juga. Atau “The Cuckoo’s Egg: tracking a spy through the maze of computer espionage” karangan Clifford Stoll, yang menurut saya merupakan salah satu buku kesukaan saya.

Buku yang saya terima merupakan terjemahan. Biasanya saya paling sulit membaca buku terjemahan karena biasanya kualitasnya buruk. Terjemahan buku ini cukup baik sehingga saya bisa menyelesaikan bacaannya dalam waktu satu minggu.

Sangat direkomendasikan.

Beres Baca Satu Buku Lagi

Baru beres membaca satu buku lagi. Asyik. Bisa dilanjutkan dengan buku berikutnya.

DSC_2778 buku

Ada sedihnya juga. Buku yang baru selesai saya baca, dilihat dari jumlah halamannya, termasuk tipis (80-an halaman). Namun untuk menyelesaikan membaca buku ini saja saya membutuhkan waktu hampir satu bulan. Baca, berhenti, baca lagi, dan seterusnya. Ternyata kecepatan membaca saya sudah berkurang. Alasan saya sih karena kesibukan, tetap mungkin ada banyak alasan lain seperti misalnya buku yang dibaca kurang menarik.

Iya, buku-buku sekarang jarang yang sangat menarik sehingga tidak bisa berhenti membaca. Dahulu, sering saya tidak bisa berhenti membaca buku. Bisa-bisa buku yang hanya 80 halaman ini selesai dalam satu hari.

Tidak mengapa. Dinikmati saja. Sekarang bersiap-siap membaca buku-buku berikutnya.