Membaca Buku

Baru-baru ini kita temui (lagi) statistik yang menunjukkan rendahnya minat baca orang Indonesia. Lihatlah dari urutan 61 negara, kita menduduki peringkat 60. Alias, peringkat kedua dari bawah. ha ha ha. Kalau dari 160 negara juga mungkin tetap peringkat kedua dari bawah juga ya? Hadoh.

Oke lah. Ada banyak kemungkinan penyebabnya. Salah satunya adalah kita bukan bangsa yang senang membaca tetapi lebih senang berkomunikasi melalui verbal. Jadi semestinya kita lebih baik dalam hal menonton video (edukasi) atau mendengarkan podcast (edukasi). Saya beri kata “edukasi” dalam tanda kurung karena saya juga belum yakin. Mudah-mudahan demikian. Jadi secara intelektual tidak ada masalah karena hanya beda cara belajarnya saja. Yang repot itu kalau kita tetap tidak belajar. Jadi bukan karena medianya yang menjadi masalah tetapi kita yang masalah. Kita yang tidak mau belajar. Mosok sih?

Saya sendiri termasuk yang suka membaca. Namun saya juga sadar bahwa ini adalah anomali.

Baru-baru ini saya menemukan sebuah tulisan yang mengatakan bahwa kalau kita memposkan foto atau tulisan tentang buku yang sedang kita baca maka itu adalah riya dan harus dihindari. Hadoh. Saya sangat tidak setuju.

Untuk orang-orang yang hobby membaca, menampilkan buku yang sedang dibaca itu bukan untuk pamer tapi untuk memberitahukan orang lain mana buku yang pantas untuk dibaca dan mana yang tidak. Tentu saja ini subyektif, tetapi sangat membantu. Ada (terlalu) banyak buku di luar sana, maka bantuan untuk memilah mana buku-buku yang bagus merupakan hal yang sangat bermanfaat. Adanya resensi buku juga sangat membantu untuk memilah buku. (Itulah sebabnya ada situs seperti Goodreads, dll. yang menampilkan banyak review buku.)

Bagi orang yang banyak membaca, menampilkan buku bukan pamer. Bayangkan kalau kita rajin membaca dan sudah membaca ratusan (atau ribuan?) buku, maka menampilkan 1 buku di media sosial kita bukanlah hal yang istimewa. Biasa saja. Bukan pamer. Mungkin kalau orangnya baru membaca 3 buku kemudian mau pamer? Ya mungkin saja karena bagi yang bersangkutan membaca buku itu merupakan hal yang istimewa. ha ha ha. Ya sudahlah. Sekali lagi, bagi yang sering membaca buku menampilkan buku yang sedang dibaca – apalagi kalau ada resensinya – merupakan hal yang baik. Jauh dari riyaa.

Jadi, buku apa yang sedang Anda baca?

Membaca

Dahulu salah satu pekerjaan yang kami lakukan adalah membantu perusahaan dalam melakukan rekrutmen pegawai baru. Membaca biografi calon pekerja kadang lucu juga. Salah satu kolom yang biasanya ditanyakan adalah hobi. Banyak orang yang menuliskan “membaca” menjadi salah satu hobi-nya. Benarkan mereka menyukai membaca?

Dalam bayangan saya, kalau yang namanya “membaca” itu adalah membaca buku. Bahkan buku yang dibacanyapun adalah buku-buku yang “berat” atau bermutu. Eh, ternyata sebagian besar kenyataannya berbeda dengan yang saya bayangkan. Apa lagi kalau yang bersangkutan merasa telah keren karena membaca buku tertentu, semakin menyakitkan faktanya. Ketika saya ajak diskusi tentang isi dari buku tersebut, gelagepan. Apalagi kalau saya tanya apakah buku yang dibacanya itu merupakan buku terjemahan atau buku aslinya (yang biasanya dalam bahasa Inggris), maka mereka tambah gelagepan.

Baiklah. Saya harus menerima bahwa membaca itu bukan kultur bangsa Indonesia. Terimalah itu. Seingat saya, saya pernah buat video (di YouTube channel saya) yang mengatakan lebih baik kita buat video saja. Soalnya budaya kita adalah budaya menonton. Ha ha ha. Buktikan bahwa saya salah.

Jadi, tidak usahlah gagah-gagahan menunjukkan bahwa Anda senang membaca seperti yang saya lakukan dalam tulisan ini. Hi hi hi.

Saya yakin tulisan ini jarang ada yang membaca! Tapi kalau yang ini karena memang tulisannya tidak terlalu menarik untuk dibaca. Lain masalah.

Membaca Buku atau Menonton Video

Tahukah Anda bahwa berdasarkan ranking PISA (Programme for International Student Assessment), Indonesia dalam membaca merosot ke ranking 72 dari 77 negara. Artinya, siswa Indonesia memang tidak suka membaca. Bukan hanya siswa Indonesia, orang Indonesia secara umum tidak suka membaca. Sementara itu pada beberapa pertemuan (yang saya ikuti dan amati) ada beberapa upaya untuk menaikkan minta baca dengan cara membuat banyak buku. Hmmm …

Pendekatan ini menurut saya masih kurang tepat. Kita sudah lama mencoba hal ini dan tidak berhasil. Maka dari itu perlu dilakukan pendekatan lain yang berbeda dari sebelumnya. Out of the box. Dalam hal ini saya mengusulkan untuk membuat video daripada membuat buku. Alasan saya adalah orang Indonesia lebih menyukai audio visual. Video lebih banyak dilihat daripada buku.

Apakah melihat video lebih buruk atau lebih rendah daripada membaca video? Ukuran yang dibuat oleh kebanyakan orang adalah berbasis membaca. Padahal secara kultur, orang Indonesia tidak suka membaca. Sudah pasti kita akan berada pada peringkat rendah. Ini seperti mengukur kehebatan binatang dari kemampuan berenangnya. Lah, kalau seperti ini akan susah. Leopard pasti akan kalah dengan ikan. Demikian pula kalau ukurannya adalah kemampuan memanjat pohon. Maka yang memang adalah monyet, bukan buaya.

Sebetulnya yang lebih utama adalah masuknya ilmu itu ke kita, bukan? Bahwa medianya melalui buku atau melalui video semestinya tidak masalah. Dahulu buku yang paling memungkinkan karena teknologi yang tersedia (dan paling murah) adalah dengan menggunakan percetakan. Sekarang sudah ada YouTube dan cloud untuk menyimpan data dalam bentuk apapun, termasuk video. Jadi sekarang semestinya lebih memungkinkan membuat video.

Masih banyak orang yang tetap ngotot bahwa membaca (buku) dan membuat buku adalah yang paling utama. Bagi sebagian kecil orang Indonesia ini benar. Saya sebetulnya termasuk kelompok yang ini, yaitu kelompok yang lebih suka membaca. Lucunya orang-orang yang mengusulkan perbanyak baca buku bukan orang yang suka membaca buku. Ketika saya tanya buku apa yang sedang dibaca, atau sebutkan sepuluh (10) penulis Indonesia kesukaannya, maka mereka kesulitan menjawab. Persis. Karena mereka tidak suka membaca.

Saya ambilkan contoh yang sedang saya alami ini. Saya sedang membaca dua buku (berserta buku-buku lainnya); (1) Pedro Domingoes – The Master Algorithm, (2) Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism. Kedua buku tersebut merupakan buku yang banyak direkomendasikan oleh orang-orang terkenal (thinkers, leaders) berskala dunia. Ternyata memang buku-buku tersebut bagus. Sayangnya, lambat sekali saya membaca buku tersebut.

Saat ini bacaan saya untuk buku Pedro Domingoes baru sekitar 65% dan buku Prof. Zuboff baru 2% (karena baru memulai). The Master Algorithm bercerita tentang madzhab Artificial Intelligence (AI). Bagus, tapi susah bacanya. Bakalan lama untuk menyelesaikannya. Saya membutuhkan informasi yang cepat. Maka yang saya lakukan adalah saya mencari video tentang buku-buku tersebut. Eh, ada! Maka yang saya lakukan adalah menonton video-video tersebut. Setelah menonton video tersebut maka saya paham esensi dari buku yang sedang saya baca.

Berikut ini adalah link-link video yang saya maksudkan di atas:

Poin yang ingin saya sampaikan adalah menonton video itu bagus untuk meningkatkan minat baca. Harapannya, setelah menonton video tersebut maka orang akan membaca buku-bukunya. Jika akhirnya tidak membaca bukunya pun, setidaknya esensi dari apa yang diutarakan dalam buku tersebut sudah dipahami. Nah, ini yang saya maksudkan perlu diperbanyak video-video yang berkualitas.

Oh ya, contoh video-video yang berkualitas ada banyak. Misalnya video-video yang dibuat oleh National Geographic, BBC, PBS, dan seterusnya. Banyak sekali videonya. Nah, harus dibuat video semacam ini ke dalam bahasa Indonesia.

Oh ya (lagi). Sebagai perbandingan, saya buatkan juga video tentang opini ini. Di bawah ini ada videonya. Anda pilih yang mana? Membaca tulisan ini atau menonton videonya?

Membaca dan Bercerita

Akhir-akhir ini saya merasa lebih susah lagi dalam membaca. Ketika saya membaca sesuatu yang bagus, maka saya langsung berhenti. Takut lupa. Mencoba memaknai. Tetapi ujung-ujungnya adalah mengkhayal. ha ha ha. Akibatnya kecepatan membaca buku menjadi sangat lama.

Selain itu timbul perasaan bahwa percuma saja kalau saya membaca buku kemudian yang pintar hanya saya sendiri. Saya harus mengajarkan kepada orang lain. Harus bercerita. Langsung dipikirkan skenario-skenario berceritanya. Biasanya dalam bentuk presentasi karena itu yang paling mudah saya lakukan. Seharusnya sih dalam bentuk tulisan lagi. Buku! Tapi ini paling berat dan lambat. Lagi-lagi akibatnya adalah kecepatan membaca jadi jatuh lagi.

Di jaman YouTube begini, nampaknya lebih mudah kalau direkam saja ya. Nanti kita bandingan. Mana yang lebih mudah; membuat video atau menulis di blog ini. Sebetulnya untuk merekam videonya sih mudah. Menyuntingnya (edit) itu yang menghabiskan waktu.

Oh ya, saya sudah memiliki channel di YouTube. Silahkan cari sendiri ya. Ini pekerjaan rumah untuk Anda. ha ha ha.

Hobby Membaca

Dalam sebuah wawancara, terjadi ini. Ini bukan rekayasa, tetapi kejadian sebenarnya. Swear.

Tanya (kami): “Hobby apa?”
Jawab: Membaca.
Tanya: Oh ya? Membaca apa?
Jawab: Buku. Fiksi.
Tanya: Contoh buku yang dibaca apa?
Jawab: Harry Potter [terus terdiam, seolah khawatir kami tidak dapat mengikuti jawabannya]
Tanya: Coba ceritakan secara singkat, inti ceritanya bagaimana.
Jawab: … [agak ragu-ragu]
Penanya: Jangan ragu, kami juga hobby membaca kok.
Jawab: … [masih ragu] …

Ha ha ha. Salah dia mengatakan hobbynya membaca. Lah, kami-kami ini hobbynya membaca. Bahkan mungkin lebih gila membacanya daripada dia. Yang Harry Potter-pun kami baca dalam Bahasa Inggris-nya. Belum tahu dia jenis dan jumlah bacaan kami. Ha ha ha.

Tanya: Sudah baca Tolkien?
Jawab: … [agak bingung]. Belum

Nah. Dicukupkan pertanyaannya. Tadinya mau bertanya siapa pengarang favoritnya. Adakah yang kekinian? Semacam Neal Stephenson, gitu. [Kembali membaca ah.]

Tahan Tiga Hari Sebelum Berbagi

Beberapa hari yang lalu (Senin, 27 Februari 2017) saya diminta untuk memberikan presentasi terkait dengan mindset anti-hoax. Saat ini hoax sudah merajalela sehingga perlu dilakukan sesuatu. Acaranya dilakukan di Unikom, Bandung.

Presentasi saya dimulai dengan definisi dari hoax. Apa ya? Hoax saya definisikan sebagai sesuatu yang tidak benar tetapi direkayasa seolah-oleh sebuah fakta. Hoax asalnya bisa hanya sekedar guyonan. Main-main. Namun oleh beberapa orang (yang tidak memiliki sense of humor?) dianggap sebagai serius dan kemudian bergulir. Namun ada juga yang memang merekayasa “fakta” palsu ini untuk kepentingan tertentu (biasanya ujung-ujungnya duit juga).

Ada kesulitan dari banyak orang untuk membedakan fakta, opini, dan hoax. Mari saya ambilkan beberapa contoh.

  • Fakta: Persib adalah klub sepak bola kota Bandung
  • Opini: Persib adalah klub sepak bola terhebat
  • Hoax: Persib pernah menjuarai Liga Sepak Bola Inggris

Contoh-contoh di atas memang mudah dikenali karena sangat jelas bedanya. Ada banyak hal yang sulit dibedakan.

16903271_10154326694056526_6889321425773985855_o
[sumber: koran Pikiran Rakyat]
Untuk mendeteksi hoax harus memiliki ilmu dan wawasan. Sebagai contoh, bagaimana kita tahu bahwa “Persib pernah menjuarai Liga Inggris” itu membutuhkan pengetahuan dimana letak Inggris selain mengetahui bahwa Persib itu klub sepak bola Bandung. Tanpa pengetahuan ini tentu saja akan sulit untuk menentukan ini fakta atau bukan.

Bagaimana cara untuk meningkatkan kemampuan ini? Dibutuhkan banyak membaca dan piknik. hi hi hi.

Setelah mengetahui itu hoax, maka terserah kepada kita apakah kita akan ikut menyebarkannya atau menghentikannya. Memang sulit sekali untuk tidak ikut berbagi (share) di dunia media sosial. Satu klik saja sudah bisa berbagi. Padahal sebelum membagikan berita, kita perlu cek dulu apakah itu fakta atau hoax.

Salah satu tips saya adalah “Tahan Tiga Hari Sebelum Berbagi”.

Bagaimana dengan penanganan hoax yang memang sengaja dibuat? Itu cerita lain kali ya.

Membaca Buku

Anak muda Indonesia jaman sekarang nampaknya tidak suka membaca buku. Padahal jaman sekarang sudah ada eBooks. Semestinya tidak ada lagi hambatan untuk membaca buku. Kalau jaman dahulu kan harus cari buku fisik. Kalau pesan belipun harus nunggu lama dan mahal. Mungkin justru kemudahan itu yang membuat orang menjadi malas?

Saya sudah mencoba menghimbau dan menyindir mahasiswa saya supaya gemar membaca. Hasilnya masih nol besar. Mungkin saya harus memberikan tugas baca kepada mereka. Kemudian harus disertakan juga foto halaman yang mereka baca (atau malah sekalian foto mereka membaca ha ha ha) sebagai bukti. Hi hi hi.

Masalahnya, tanpa membaca ilmu kita rendah sekali. Sudah ilmu rendah, banyak komentar pula (di media sosial misalnya). ha ha ha. Jadinya kacau balau.

Baca, baca, dan baca!

Mengenali Pahlawan Indonesia

Ketika jaman saya masih kecil, semua anak-anak diwajibkan mengetahui dan bahkan menghafalkan nama pahlawan-pahlawan Indonesia. Biasanya disebutkan mereka dari daerah mana. Ini mungkin bagian dari doktrinasi bernegara Indonesia? Hasilnya adalah kami jadi mengetahui pahlawan-pahlawan Indonesia.

Jaman dahulu memang belum ada internet, sehingga pengetahuan kami juga terbatas. Tetapi di sisi lain kami juga tahu bahwa kami tidak tahu semua. (Muter begini. hi hi hi.) Artinya, kami tidak sok tahu.

Baru saja Bank Indonesia menerbitkan uang baru. Uang baru ini menampilkan wajah pahlawan Indonesia. Sayangnya ketika membaca sebuah thread tulisan (post) di media sosial tentang uang ini, banyak yang menyikapinya dengan negatif. Sebagai salah satu contoh adalah banyak yang tidak tahu (dan saya pada awalnya) tentang Frans Kaisiepo yang ditampilkan pada pecahan uang 10.000 rupiah.

rupiah_10000
Tampilan uang 10.000 Rupiah yang baru [sumber sindonews]
Sedihnya banyak yang menyikapi ketidak tahuan ini dengan menghakimi. Saya tidak sampai hati untuk menuliskan komentar-komentar mereka di tulisan ini. (Dan ini juga dapat saya anggap sebagai ikut menyebarkan kebencian.) Padahal untuk memecahkan ketidaktahuan ini mereka dapat mencari informasi di internet. Ini salah satunya, “Biografi Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo“. Sangat mudah sekali. (Coba bayangkan jaman dahulu sebelum ada internet!) Keberlimpahan informasi ini ternyata tidak menjadi jaminan orang menjadi lebih terdidik. Aneh. Apakah ini merupakan kegagalan pendidikan Indonesia?

Hal yang sama dapat juga dilakukan untuk mencari informasi mengenai pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya yang diabadikan di uang baru kita. Ayo cari tahu.

Membaca Itu Tidak Mudah

Sungguh. Membaca itu tidak mudah alias susah. Kalau mudah, tumpukan buku saya sudah habis saya baca semua. Membacanya saja sudah susah apalagi memahaminya. Tambahan lagi kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa asing, yang bukan bahasa ibu kita. Kelar.

Tadi saya mencoba membaca sebuah halaman ini:

https://www.brainpickings.org/2015/08/31/emerson-the-american-scholar/

Membacanya pelan-pelan. Ada banyak hal yang belum saya mengerti. Ada hal-hal yang membuat saya perlu berpikir dahulu sebelum melanjutkan bacanya. Akibatnya, untuk membaca sebuah halaman saja butuh waktu yang cukup lama.

Oleh sebab itu, jika kita menemukan sebuah tulisan – baik itu status seseorang di facebook atau tulisan di blog – maka pahami dahulu sebelum membuat komentar. hi hi hi.

Membaca Adalah Bekerja

Ada banyak pekerjaan yang menuntut kita untuk membaca. Untuk mengoperasikan sebuah alat harus baca manualnya dahulu. Kadang manualnya bertumpuk-tumpuk. Untuk memahami sebuah konsep, harus baca dahulu dokumen yang terkait dengan konsep tersebut. Untuk membuat sebuah laporan, harus membaca data yang diterima dahulu (dan kemudian dilanjutkan dengan memahami sebelum menuliskannya). Seringkali datanya berlembar-lembar (dan bahkan ada yang jumlahnya ratusan halaman).

Banyak orang yang menyepelekan membaca sehingga tidak dapat mengapresiasi orang yang membaca. Dianggapnya orang yang terduduk dengan sebuah dokumen di hadapannya adalah tidak bekerja. Kan hanya membaca. Apa susahnya?

Itulah sebabnya juga seringkali mahasiswa S3 disepelekan oleh berbagai pihak. Oleh tempat kerjanya dia tetap diberi pekerjaan yang berat karena toh sekarang dia hanya membaca makalah orang lain. Apa susahnya? (Oleh sebab itu mahasiswa S3 sering frustasi karena tidak dipahami.)

Kalau membaca – hanya sekedar membaca – saja sudah dianggap susah, apalagi memahami ya?

[sedang membaca dan mencoba memahami]

Waktunya Membaca

Beberapa minggu terakhir, waktu saya banyak disita untuk menghasilkan sesuatu. Menulis. Presentasi. To publish. Sayangnya menulis di blog ini malah menjadi berkurang. Hadoh. Harus diperbaiki ini.

Nah, sekarang waktunya saya untuk membaca. Mengisi otak. Menambah wawasan. Mengasah kepekaan hati. Tumpukan bahan bacaan harus dikurangi.

Mari …

Mau Diapakan Majalah Ini?

Pertama, saya harus mengaku dulu. Saya tukang mengumpulkan majalah dan buku. Ada banyak majalah yang tidak dapat saya buang. Kalau buku mungkin mudah untuk menerima agar dia tetap disimpan. Nah kalau majalah? Sebagian besar orang akan membuang majalah. Saya menyimpannya. Untungnya majalah yang saya baca adalah majalah teknis, seperti IEEE Spectrum, IEEE Computer, dan seterusnya.

Ini adalah foto yang saya ambil beberapa menit yang lalu.

P_20160724_125325-01

Ini adalah tumpukan majalah IEEE Spectrum yang berada di lantai. Tadinya dia berada di atas meja kerja, tetapi saya turunkan karena mejanya mau dibersihkan dahulu. Masih ada banyak tumpukan lagi yang sejenis. Banyak sekali. (Tidak saya foto karena mengerikan. hi hi hi.)

Saya tahu bahwa majalah-majalah ini – misal yang IEEE itu – ada versi digitalnya, tetapi saya masih suka memegang versi fisiknya. Tampilannya lebih indah dan saya dapat membuka halaman-halaman dengan mudah. Kalau nanti bentuknya digital, saya khawatir akan susah menemukan mereka kembali. (Ya saya tahu ada fitur search dan sejenisnya, tetapi mereka tidak efektif kalau saya mencari tulisan di majalan dalam bentuk fisik ini.) Suatu saat saya akan pindah ke versi digital. Mungkin. Untuk sementara ini saya masih suka versi fisik.

Masalahnya adalah dimana saya dapat menyimpan mereka? Lemari buku saya sudah penuh dengan buku-buku. Bahkan buku-buku juga berterbaran di segala penjuru rumah. Sering saya heran kalau bertamu ke rumah orang dan melihat tidak ada buku di rumah mereka. Mungkin buku-bukunya sedang bersembunyi di ruang perpustakaan mereka?

Kembali ke masalah “menyampah” majalah ini. Jadi majalah-majalah ini harus saya apakan?

Tolong!

Kecepatan Membaca Buku

Beberapa tahun terakhir ini saya agak kesal kepada diri sendiri. Pasalnya kecepatan membaca buku saya sangat menurun. Banyak buku yang tidak selesai dibaca. Biasanya awal-awalnya cepat, terus berhenti.

Ada beberapa kemungkinan penyebab turunya kecepatan baca saya. Pertama, saya harus menggunakan kacamata baca (kacamata plus). Usia ternyata tidak bisa dibohongi. Begitu menginjak usia tertentu, langsung mata menjadi plus. Silahkan tunggu saja. hi hi hi. Nah, begitu pakai kacamata saya agak susah membaca karena kadang kacamata tidak ada atau saya ingin membaca sambil selonjoran (tiduran), yang mana ini menyulitkan bagi kacamata.

Kemungkinan kedua, yang membuat saya lambat menyelesaikan bacaan buku adalah bukunya sendiri kurang menarik untuk diselesaikan. Ya, menyalahkan orang lain memang yang paling gampang. Salahkan bukunya saja. hi hi hi. Tapi, ini serius lho. Kalau bukunya bagus, pasti saya baca sampai tuntas.

Dan ini yang terjadi dalam 3 bulan terakhir. Saya menyelesaikan dua buku! Masing-masing saya selesaikan kurang dari seminggu. Yang pertama adalah buku tentang Edward Snowden itu. Yang ini cepat saya selesaikan karena harus membuat resensi.

Yang kedua adalah buku yang baru beberapa hari yang lalu saya selesaikan. “How to capture an invisible cat” oleh Paul Tobin.

P_20160620_210801 invisible cat 0001

Ceritanya saya melihat buku ini di airport ketika menuju ke Jogja minggu lalu. Gambarnya yang pertama kali membuat saya tertarik. (Padahal gambar sampul buku yang sama di luar negeri berbeda gambarnya.) Ah saya beli saja. Ternyata bagus bukunya. Lucu. Akhirnya buku ini juga saya selesaikan dalam beberapa hari saja. (Resensinya ada di Goodreads saya.)

Mudah-mudahan kecepatan membaca buku saya bisa lebih baik lagi. Atau, setidaknya, sama seperti sekarang. Nah, tinggal mencari buku-buku yang bagus.

Membaca Itu Bukan Bekerja

Ada banyak orang yang berpendapat bahwa membaca itu bukan bekerja. Soalnya membaca itu tidak kelihatan hasilnya secara fisik. Kalau menebang pohon itu kelihatan hasilnya. Berarti menebang itu bekerja. Lah, kalau membaca?

Padahal dalam hal pekerjaan yang membutuhkan pemikiran biasanya dibutuhkan pengertian dan pemahaman. Keduanya diperoleh setelah melalui proses membaca (dan kemudian dilanjutkan dengan mencoba). Tanpa membaca, kita akan menjadi bodoh dan tidak dapat mencari solusi yang dibutuhkan dalam pekerjaan kita.

Yang paling repot adalah menjelaskan pekerjaan mahasiswa yang sedang mengambil S3 karena pekerjaan utama mereka adalah membaca dan menulis. Membacanya juga agak ekstrim, yaitu harus banyak sekali membaca. Ratusan makalah dan buku harus dibaca oleh seorang mahasiswa S3. Untuk membacanya saja sudah membutuhkan waktu, apalagi untuk mengerti atau memahami. Maka dari itu banyak orang yang tidak mengapresiasi kesulitan mahasiswa S3.Sesungguhnya membaca itu juga bekerja, tetapi dilakukan oleh otak. Mungkin karena otak juga tidak terlihat secara fisik, maka sulit menerima bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh otak sama pentingnya (bahkan sekarang lebih penting) daripada pekerjaan yang dilakukan oleh otot.Nah, kalau membaca status orang di Facebook atau Twitter itu bekerja juga atau bukan ya?

Beres Baca Satu Buku Lagi

Baru beres membaca satu buku lagi. Asyik. Bisa dilanjutkan dengan buku berikutnya.

DSC_2778 buku

Ada sedihnya juga. Buku yang baru selesai saya baca, dilihat dari jumlah halamannya, termasuk tipis (80-an halaman). Namun untuk menyelesaikan membaca buku ini saja saya membutuhkan waktu hampir satu bulan. Baca, berhenti, baca lagi, dan seterusnya. Ternyata kecepatan membaca saya sudah berkurang. Alasan saya sih karena kesibukan, tetap mungkin ada banyak alasan lain seperti misalnya buku yang dibaca kurang menarik.

Iya, buku-buku sekarang jarang yang sangat menarik sehingga tidak bisa berhenti membaca. Dahulu, sering saya tidak bisa berhenti membaca buku. Bisa-bisa buku yang hanya 80 halaman ini selesai dalam satu hari.

Tidak mengapa. Dinikmati saja. Sekarang bersiap-siap membaca buku-buku berikutnya.