Jangan bosan dengan tulisan saya yang mengangkat topik ini lagi ya, karena untuk menjelaskan itu harus dilakukan berkali-kali dengan cara yang (sedikit banyak) berbeda. Siapa tahu penjelasan yang ini lebih dapat dipahami daripada yang sebelumnya.
Ini masih cerita tentang budaya disuapin. Maksudnya bagaimana? Begini.
Kadang saya melihat ada orang-orang (banyak) yang merasa harus menjelaskan secara eksplisit dan rinci. Contohnya di dalam film (atau sinetron) untuk menunjukkan bahwa seseorang itu menunggu lama dia berkata, “saya sudah lama menunggu di sini”. Padahal ada cara lain untuk menjelaskan itu, misalnya di depannya ada asbak yang berisi banyak puntung rokok dan beberapa cangkir kopi di depannya. Tidak perlu dijelaskan bahwa dia menunggu lama. Berikan kepada pemirsa untuk mengambil kesimpulan atau interpretasi sendiri.
Hal-hal seperti ini istilahnya adalah patronizing. Menganggap pemirsa tidak memiliki kemampuan untuk menyimpulkan sendiri. Dengan kata lain, pemerisa itu bodoh. Harus diberitahu.
Nah, di sisi lain ada juga orang yang menulis dengan menyiratkan sebuah hal tetapi ketika ditanyakan (atau dikonfrontasi) dia mengelak. Ngeles. Kan saya tidak menuliskan hal itu (secara eksplisit). Memang tidak secara tersurat, tetapi itu tersirat. Misal kalau di Amerika ditampikan foto 7-eleven dan kemudian ditampilkan gambar orang India. Memang stereotype di sana adalah penunggu 7-eleven adalah orang keturunan India. Silahkan juga tonton film seri The Simpsons. Apu, sang penunggu 7-eleven, adalah orang India. Tentu saja dia tidak perlu menuliskan secara eksplisit, “penunggu 7-eleven adalah orang India”. Pemirsa cukup cerdas untuk melihat arah penulis cerita tersebut.
Oh ya, ketika seorang tersebut ditanyakan tentang maksudnya tulisannya, gambarnya, videonya, atau opininya dalam bentuk apapun, maka orang tersebut ngeles. Belagak pilon. Saya kan tidak menulis itu. Mereka pikir kita ini bodoh. Ha ha ha.
Banyak orang yang masih tidak percaya bahwa saya adalah orang yang super sibuk. Sibuk dengan apa? Ya banyak hal, antara lain mengajar, menjalankan perusahaan, membimbing (mentoring) untuk mahasiswa dan start-ups. Itu belum termasuk melakukan hobby seperti futsal dan nge-band. Oh ya, ada juga kesibukan belajar dan coding.
Supaya percaya. Ini saya lampirkan slide dari presentasi STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika) ITB dari raker kemarin. Monggo.
Beban mengajar
Ternyata saya menduduki ranking teratas untuk jumlah SKS terbanyak dalam mengajar di tahun ini. Hadoh. Saya sendiri baru tahu. Baru sadar. Pantesan sibuk.
Oh ya, ada video juga tentang hal ini di youtube channel saya.
Sekarang kuliah di ITB sudah diperkenankan untuk dijalankan secara hybrid. Jadi ada mahasiswa yang datang ke kampus (offline) dan ada mahasiswa yang mengikuti kuliah secara daring (online) dengan menggunakan Zoom. Ada juga kelas yang masih full online.
Kelas Hybrid saya. Itu komputer saya terhubung ke Zoom.
Kelas memang harus memiliki fasilitas internet yang cepat dan juga cukup untuk menampung mahasiswa. Untuk kasus saya, ada kelas yang tidak cukup untuk menampung semua mahasiswa sehingga digilir yang datang offline. Ternyata mahasiswa banyak yang ingin masuk kelas offline karena sudah lama tidak ke kampus dan tidak ketemu teman-temannya secara fisik. Jadi mereka lebih suka offline.
Tapi – ada tapinya – dugaan saya ini tidak akan bertahan lama. Nanti lama kelamaan juga mahasiswa akan lebih senang kuliah online. Kenapa? Karena tidak perlu harus pergi ke kampus – ngabisin waktu. Tidak perlu bersiap-siap sebelumnya. Tinggal cuci mata atau cuci muka, beres. Tidak perlu pakai baju yang resmi. Asal kelihatan rapi sudah cukup. Jadi, dugaan saya mahasiswa bakal lebih suka kuliah online. Bagaimana menurut Anda, para mahasiswa?
Jawaban singkatnya adalah, maaf tidak sempat. Ha ha ha. Langsung to the point.
Baru saja saya selesai memberikan kuliah. Di beberapa slide – mungkin lebih tepatnya hampir di semua slide – ada perbaikan atau pembaharuan (update) yang harus saya lakukan. Karena kelas sedang berlangsung, maka saya catat itu di kertas. Kadang juga perbaikan saya catat di kepala saja. Diingat-ingat. Setelah selesai kuliah harusnya itu langsung diperbaiki, tetapi seringkali ada kesibukan lain yang harus dilakukan sehingga akhirnya perbaikan tidak terjadi juga. Hadoh.
Sekarang saya mencoba cara yang berbeda. Ketika ada yang harus diperbaiki, maka di kelas pun saya langsung update slide tersebut. Sambil berhenti sejenak, saya langsung perbaiki slidenya. Ternyata ini tidak terlalu mengganggu flow dari kelas. Hanya saja pebaikan yang dapat dilakukan adalah perbaikan yang sifatnya minor. Kalau perbaikannya cukup besar, misalnya mengubah diagram atau menambahkan diagram baru, ini belum saya coba. Rasanya ini akan membuat flow dari kelas terganggu. Jadi untuk yang ini masih belum dapat saya lakukan.
Jadi, jangan marah-marah dulu ke dosen yang materi kuliahnya itu-itu saja. Mungkin dia mengalami masalah yang sama dengan saya, tidak ada kesempatan untuk memperbaharui.
Baru-baru ini saya mendapatkan sebuah pesan pribadi dari seseorang yang menanyakan bagaimana caranya untuk meluruskan sebuah berita bohong (hoax) yang sedang beredar di group WhatsApp yang diikutinya. Dia menyertakan beberapa potret (screenshots) dari berita yang dimaksudkan. Situasi seperti ini bukanlah yang pertama kali yang saya alami, karena memang keberadaan berita bohong di Indonesia sudah menjadi semacam wabah (penyakit). Pertanyaannya tetap sah, bagaimana mengatasinya? Berikut ini opini saya.
Pertama, jangan langsung didebat berita bohong tersebut di group WA karena debatan Anda akan tenggelam dalam pesan-pesan lainnya. Masalah dari group chat (dan media sosial secara umum) adalah mereka mudah hilang. Maksudnya sulit bagi kita menemukan data atau tulisan yang sudah lama, misal 3 bulan yang lalu. Jadi kalau ada yang mengirim ulang berita bohong (atau membuat modifikasi dari berita bohong lama), maka kita akan repot lagi karena jawaban kita sudah hilang. Maka salah satu cara untuk mengatasi ini adalah menyimpan sanggahan kita, klarifikasi dan seterusnya, ke sebuah situs web (atau blog) yang relatif lebih permanen dan lebih mudah dicari / diakses.
Kedua, perang dengan berita bohong adalah masalah keabsahan fakta. Darimana kita tahu bahwa yang cerita yang disampaikan itu adalah berita bohong? Maka data tersebut harus didokumentasikan, misalnya boleh dalam bentuk potret layar (screenshot) sehingga orang lain juga dapat melihat topik yang yang sedang dibahas. Jadi data atau “fakta” dari yang disebut berita bohong atau sanggahannya keduanya harus tersedia.
Ketiga, sanggahan atau pelurusan berita bohong ini harus mudah dicari dan juga diviralkan. Maka inilah perlunya ada organisasi semacam hoax buster. Nampaknya saya pun harus membuatkan daftarnya di sini sehingga mudah dicari oleh orang ya? (Nanti saya perbaharui tulisan ini secara berkala dengan daftar tersebut.)
Berikutnya lagi adalah orang yang membuat berita bohong ini akan terus membuat berita bohong. Maka perlu ada upaya untuk menangkap dan menyeret orang tersebut ke meja hijau. Harus diberi hukuman agar jera. Contoh-contoh kasus sebelumnya perlu juga ditampilkan. Saat ini kan lawakannya adalah (1) buat berita bohong, (2) kalau ditangkap nangis-nangis, (3) selesaikan dengan pernyataan yang disegel dengan meterai. Seperti itu belum cukup. Aspek jeranya kurang.
Tentu saja edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan berita bohong – dan bahkan ikut menyebarkan – perlu dilakukan. Seringkali orang tidak secara sadar ikut menyebarkan dengan meneruskan berita bohong tersebut dengan menambahi kata-kata “apakah ini benar?”. Mereka tidak sadar bahwa mereka sebetulnya ikut menyebarkan berita bohong tersebut. Sebelum menyebarkan dan menambahkan kata “apakah ini benar?” itu ada baiknya melakukan pencarian (checking) terlebih dahulu. Memang ini menjadi lebih repot daripada sekedar meneruskan berita bohong tersebut dengan menambahi kata “apakah ini benar?”. Intinya ya harus mau ikut repot. Ini yang susah. Orang malas untuk melakukan hal itu.
Sudah terlalu panjang. Nanti malah tidak dibaca kalau kepanjangan.
Daftar tempat untuk memeriksa berita bohong atau tidak:
Baru-baru ini kita temui (lagi) statistik yang menunjukkan rendahnya minat baca orang Indonesia. Lihatlah dari urutan 61 negara, kita menduduki peringkat 60. Alias, peringkat kedua dari bawah. ha ha ha. Kalau dari 160 negara juga mungkin tetap peringkat kedua dari bawah juga ya? Hadoh.
Oke lah. Ada banyak kemungkinan penyebabnya. Salah satunya adalah kita bukan bangsa yang senang membaca tetapi lebih senang berkomunikasi melalui verbal. Jadi semestinya kita lebih baik dalam hal menonton video (edukasi) atau mendengarkan podcast (edukasi). Saya beri kata “edukasi” dalam tanda kurung karena saya juga belum yakin. Mudah-mudahan demikian. Jadi secara intelektual tidak ada masalah karena hanya beda cara belajarnya saja. Yang repot itu kalau kita tetap tidak belajar. Jadi bukan karena medianya yang menjadi masalah tetapi kita yang masalah. Kita yang tidak mau belajar. Mosok sih?
Saya sendiri termasuk yang suka membaca. Namun saya juga sadar bahwa ini adalah anomali.
Baru-baru ini saya menemukan sebuah tulisan yang mengatakan bahwa kalau kita memposkan foto atau tulisan tentang buku yang sedang kita baca maka itu adalah riya dan harus dihindari. Hadoh. Saya sangat tidak setuju.
Untuk orang-orang yang hobby membaca, menampilkan buku yang sedang dibaca itu bukan untuk pamer tapi untuk memberitahukan orang lain mana buku yang pantas untuk dibaca dan mana yang tidak. Tentu saja ini subyektif, tetapi sangat membantu. Ada (terlalu) banyak buku di luar sana, maka bantuan untuk memilah mana buku-buku yang bagus merupakan hal yang sangat bermanfaat. Adanya resensi buku juga sangat membantu untuk memilah buku. (Itulah sebabnya ada situs seperti Goodreads, dll. yang menampilkan banyak review buku.)
Bagi orang yang banyak membaca, menampilkan buku bukan pamer. Bayangkan kalau kita rajin membaca dan sudah membaca ratusan (atau ribuan?) buku, maka menampilkan 1 buku di media sosial kita bukanlah hal yang istimewa. Biasa saja. Bukan pamer. Mungkin kalau orangnya baru membaca 3 buku kemudian mau pamer? Ya mungkin saja karena bagi yang bersangkutan membaca buku itu merupakan hal yang istimewa. ha ha ha. Ya sudahlah. Sekali lagi, bagi yang sering membaca buku menampilkan buku yang sedang dibaca – apalagi kalau ada resensinya – merupakan hal yang baik. Jauh dari riyaa.
Banyak orang yang merasa bisa menjadi dosen atau guru. Biasanya ini terjadi kepada seseorang yang baru saja memberikan presentasi di seminar. Wah, menarik nih menjadi pengajar. Maka kemudian dia menyatakan diri ingin menjadi dosen. Tidak semudah itu, Ferguso. Masalahnya adalah orang ini hanya memberikan presentasi satu atau dua jam. Dia belum merasakan susahnya jadi dosen. Lah, memang masalahnya apa?
Pertama, menjadi dosen itu membutuhkan sebuah rutinitas. Sekali mengajar dengan mengajar 14 atau 15 kali secara rutin merupakan hal yang berbeda. Satu dua kali masih oke. Selanjutnya, maka mulailah muncul kebosanan. Nampaknya ini sama dengan ngeblog ya? Ha ha ha. Itulah sebabnya banyak blogger yang sudah tidak aktif lagi sekarang. Kembali kepada topik, rutinitas ini atau kebosanan ini yang menjadi masalah.
Kedua, memeriksa tugas atau ujian. Nah ini yang paling menyebalkan dari kegiatan dosen. Menyiapkan materi itu merupakan pekerjaan yang kelihatannya susah, tetapi itu susah yang menyenangkan. Yang susah (mungkin susah) tapi menyebalkan itu adalah memeriksa tugas atau ujian mahasiswa. Bayangkan kalau Anda memeriksa tugas yang sama untuk 50 siswa, misalnya. Membosankan. Dan jangan lupa, ini semua membutuhkan waktu. Memeriksa tugas mahasiswa itu membutuhkan waktu. Sebagai contoh, saya membuat tulisan ini sebagai selingan dari memeriksa tugas mahasiswa. Saya sudah memulai memeriksa tugas mahasiswa mulai pukul 9 pagi tadi dan sekarang pukul 10:11. Kalau saya perhatikan yang saya periksa baru seperempatnya. Padahal ini tugas yang mudah. Ada masalah teknis, yaitu saya harus me-rename nama berkas yang mereka kirimkan. Ini kesalahan saya. Seharusnya saya buatkan standar penamaan berkas (“NIM.pdf”, misalnya) sehingga berkas sudah terurut. Baiklah.
Kembali ke memeriksa tugas mahasiswa. Nampaknya ini bakalan sampai makan siang.
Demikian sedikit cerita dari balik layar tentang dukanya jadi dosen. Masih mau jadi dosen?
Ternyata salah satu komponen utama dari kerja dari rumah (work from home) adalah listrik. Ini baru saja listrik di rumah saya mati. “Aliran”, kalau kata orang Sunda. ha ha ha. Padahal saya harus memberikan kuliah. Akibatnya saya berikan pesan (via handphone) bahwa kelas terpaksa ditiadakan dan mahasiswa diminta untuk mendiskusikan serta meneruskan tugas-tugas mereka.
Listrik dibutuhkan untuk menyalakan komputer dan akses internet di rumah saya. Basis saya masih menggunakan komputer desktop dan internet wired (menggunakan access point yang terhubung ke router dan penyedia jasa internet). Begitu listrik mati, maka semuanya menjadi tidak berfungsi. Bukankah ada notebook (untuk pengganti komputer desktop) dan handphone (untuk penganti akses internet)? Betul. Notebook nampaknya tidak menjadi masalah, namun akses internet via handphone yang menjadi masalah bagi saya. “Kebetulan” – meskipun rumah saya di daerah Bandung – lokas rumah saya di atas bukit yang terhalang oleh bukit lain sehingga sinyal operator seluler sering bermasalah di sini. Ini sudah tahunan seperti begini. Dulu ketika jaman 3G masih baru mulai pun kami mengundang beberapa teknisi dari operator seluler dan mereka menyerah. (Solusinya adalah mereka pasang BTS lagi di dekat sini, yang mana ini tidak memungkinkan karena biaya untuk memasang BTS tidak murah sementara pelanggan yang bermasalah kemungkinan hanya sedikit atau malah hanya saya saja.) Singkatnya sinyal operator seluler di tempat saya ini dipertanyakan.
Kembali ke topik, walhasil kelas tadi dibubarkan. Saya yakin mahasiswa bergembira-ria. ha ha ha. Ya, sekali-sekali lah memberikan kebahagiaan kepada mahasiswa.
Nampaknya saya harus mulai memikirkan backup plan.
Belakangan ini ramai dibicarakan soal wawancara Najwa dengan kursi kosong. Wah, saya tidak terlalu minat untuk urusan sensasi, tapi ini kemudian memicu saya untuk punya ide. Bagaimana kalau saya mewawancara diri saya sendiri? Hi hi hi. (Plot twist?)
Langsung saya mengumpulkan ide dan kemudian membuat video ini. Nah, saya sebetulnya ingin cerita bahasannya, tapi kok malah jadi spoiler ya? Tapi kan sebetulnya blog ini ditujukan untuk orang-orang yang lebih suka membaca. Semestinya tidak terlalu masalah. Tapi just in case saja. Untuk yang mau lihat videonya, jangan dibaca dulu tulisan di bawah ini. Tonton dulu videonya.
…
[baris kosong supaya tidak terlalu terlihat tulisan spoilernya untuk yang mau nonton videonya dulu]
…
… [baris kosong supaya tidak terlalu terlihat tulisan spoilernya untuk yang mau nonton videonya dulu] …
… [baris kosong supaya tidak terlalu terlihat tulisan soilernya untuk yang mau nonton videonya dulu] …
Nah. Sekarang baru akan saya bahas secara singkat tentang poin-poin yang ingin saya sampaikan di video itu.
Pekerjaan rumah (PR) dari wartawan. Banyak wartawan yang tidak mengerjakan PR-nya ketika akan mewawancara. Saya sering diwawancara. Sering banget! Banyak wartawan yang dia hanya menjalankan tugas yang diberikan secara ngasal. Asal diselesaikan saja checklist itu. Sebagai contoh, ketika mewawancara seseorang ya di-google dulu lah orang yang bersangkutan. Kalau sekarang kan gampang. Kalau dahulu gimana coba? Harus ke perpustakaan, tanya sana sini, dan seterusnya.
Untuk kasus saya, ya wartawannya setidaknya tahu latar belakangnya lah. Saya bekerja dimana (dosen ITB, misalnya) dan bidang keahlian saya apa (information security salah satunya). Beberapa kali kejadian ada wartawan yang tidak tahu siapa saya kemudian main wawancara saja. Kalau mau iseng, saya jawab dengan ngawur juga. ha ha ha. Ini menyambung kepada poin berikutnya.
Bertanya pada pakarnya. Jika Anda ingin mewawancara saya, ya tanyakan tentang hal-hal yang saya kompeten untuk menjawabnya. Kalau tanya apa saja ke saya, ya jawabannya juga apa saja. Sekarang ini banyak wartawan yang ngasal dalam mencari narasumbernya. Mereka asal ambil orang dan kemudian pendapatnya dianggap sebagai valid. Bahkan ada yang langsung memberi label “pakar”, atau “pengamat”. Matinya kepakaran!
Mencari sensasi. Banyak orang yang sekarang mencari sensasi untuk meningkatkan popularitas. Apa saja ditempuh. Termasuk yang tidak etis sekalipun. Tentu saja orang tahu mana yang mencari sensasi dan mana yang mencari kebenaran atau berkarya. (Sayangnya hal yang sensasi lebih banyak ditonton karena dianggap sebagai hiburan. Dari pada nonton video binatang yang lucu, lebih baik nonton sensasi itu dan kemudian ikut memberi komentar pula!) Marilah kita hargai yang berkarya sungguhan.
Menurut saya, hal-hal yang salah harus ditegur. Diluruskan. Kita kan ingin sama-sama meningkatkan kebudayaan kita. Meningkatkan intelektual kita juga. Tetapi tegurlah dengan santun. Semoga video saya tersebut dapat memberi pencerahan.
Informasi tentang acara dadakan. Betul. Sebetulnya acara ini sudah ingin kami adakan kapan-kapan tetapi belum menemukan waktu yang “tepat”. Ternyata tidak ada waktu yang “tepat”. Jadi mumpung ada waktu, kami jreng-kan saja. Senin malam, 21 September 2020. Mungkin melalui Zoom dan YouTube. (Detail menyusul.)
Ada dua hal yang ingin disampaikan; (1) tentang topik bahasannya sendiri yaitu dilema media sosial, dan (2) adalah tentang group diskusi kami. Jadi kami memiliki group diskusi yang awalnya adalah mentoring entrepreneurship yang saya adakan secara rutin setiap Rabu siang. Banyak orang yang ingin tahu isinya seperti apa sih? Nah, ini saya ambilkan sebagian dari orang-orang yang sering terlibat dalam diskusinya (yang bisa ngalor ngidul tetapi bertopik).
Tentang topiknya, dilema media sosial. Media sosial sendiri dianggap sebagai salah satu emerging technology. Di negara lain, media sosial merupakan hal yang “baru”. Sementara itu di Indonesia, media sosial bukan barang baru lagi, tetapi kita belum paham efeknya. Lah, mau belajar kemana? Secara kita ini merupakan pionir pengguna (bukan pembuat) di bidang ini. Tidak ada tempat belajar untuk melihat efek sampingannya. Mungkin malah dapat disebut bahwa kita adalah kelinci percobaan bagi media sosial. (Dan kita tidak sadar bahwa kita adalah kelinci. Masih mending kelinci, bukan monyet ya? Ha ha ha.)
Topik efek negatif dari media sosial baru mencuat belakangan ini setelah para pengembang dan orang-orang yang terlibat di perusahaan media sosial itu angkat suara. Ternyata mereka sendiri mengalami kegalauan dalam produk atau servis yang mereka kembangkan. Bahkan ada yang merasa menyesal. Ada banyak tulisan dan buku yang menyarankan agar kita menghapus aplikasi media sosial kita.
Sebetulnya media sosial ini juga bukan tanpa jasa. Ada banyak jasanya. Masalahnya adalah apakah manfaatnya jauh lebih baik dari mudharatnya? Lah, apa saja sih efek negatifnya? Itu yang ingin kita diskusikan hari Senin malam ini.
Saya berharap agar banyak yang dapat mengangkat topik ini agar kita sadar (aware) terhadap situasi yang kita hadapi.
Ada banyak bahan bacaan dan bahan tontonan di luar sana. Mana saja yang bagus? Dibutuhkan waktu dan usaha untuk memilah-milah. Nah, ini saya menemukan video yang bagus. Yang sangat disarankan untuk ditonton.
Video ini adalah kuliah terakhir dari Randy Pausch. Pasalnya, Randy mengidap kanker dan diberi waktu 3 sampai dengan 6 bulan lagi. Dia bukan orang yang pesimistik, maka dia membuat video ini untuk anaknya. Namun video kuliah ini sangat bermanfaat bagi banyak orang. Termasuk saya.
Bagi saya, video ini sangat menginspirasi. Banyak hal yang bersinggungan atau sejalan dengan prinsip hidup saya. Asyik. Ternyata saya tidak sendirian dalam “kegilaan” atau keanehan pilihan hidup.
Untuk tidak berpanjanglebar, mari kita saksikan videonya.
Ada perangkat yang dibutuhkan untuk akses ke internet. Perangkat ini dapat berupa handphone (yang dilengkapi dengan layanan internet, baik yang berlangganan via operator atau via WiFi). Perangkat dapat juga berupa perangkat khusus seperti Access Point, (WiFi) router, dan seterusnya. Untuk masyarakat umum, perangkat yang digunakan untuk ini biasanya adalah handphone.
Perangkat handphone umumnya cocok untuk dipakai oleh satu orang. Bagaimana untuk keluarga dengan dua anak dan orang tua yang bekerja? Maka seringkali perangkat akses handphone ini tidak cukup. Maka perangkat akses internet di rumah harus yang lebih baik. Untuk sementara ini ini katakanlah kita anggap handphone.
Untuk akses kepada layanan 3G, 4G, WiFi, ada banyak handphone yang harganya sudah terjangkau untuk orang kota. Yang perlu dicarikan adalah perangkat yang murah meriah untuk seluruh Indonesia.
TO DO: ketersediaan perangkat akses yang murah
Perangkat kedua adalah perangkat untuk mengerjakan tugas. Bagusnya ini adalah komputer atau laptop (notebook). (Untuk selanjutnya saya akan menggunakan istilah laptop saja.) Idealnya satu orang (satu anak, satu siswa) satu laptop. Apakah ini masuk akal? Untuk itu harus disediakan laptop dengan harga yang murah.
Alternatif dari laptop adalah tablet. Namun penggunaan tablet membutuhkan akses ke cloud untuk menyimpan data yang jumlah dan ukurannya banyak. Ini kembali menjadi masalah akses yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.
TO DO: ketersediaan laptop yang murah
Terkait dengan perangkat ini adalah perangkat lunaknya (software). Ada banyak perangkat lunak yang dibutuhkan; untuk menulis (word processing), untuk menggambar (drawing, painting), dan seterusnya. Ada banyak perangkat lunak yang berbayar dan ada pula alternatifnya yang tidak berbayar (freeware, open source). Jika dahulu ini masalah, saat ini bukan masalah lagi. Hanya perlu dilakukan pendataan saja sehingga masyarakat tahu alternatif-alternatifnya.
TO DO: dibuat daftar perangkat lunak yang gratis atau murah
Dalam satu semester biasanya saya mengajar 3 mata kuliah. Itu maksimal. Untuk kasus-kasus tertentu kadang bisa 4 mata kuliah. Nah, sekarang saya mengajar … (eng, ing, eng) … 6 mata kuliah! Gila!
Mengapa ini bisa terjadi? Saya berpikir keras.
Ah, baru kebayang. Biasanya mata kuliah dibuka oleh kampus setelah melakukan optimasi terhadap ketersediaan sumber daya, khususnya ruangan. Karena jumlah ruangan terbatas, maka jumlah mata kuliah yang dapat dilayani terbatas. Sekarang, gara-gara covid-19 ini, semua kuliah dilakukan secara daring (online). Maka batas ruang (dan waktu) hilang! Maka kampus dapat memberikan semua mata kuliah bersamaan. Terserah kepada dosen dan mahasiswanya saja.
Bodohnya, saya sebagai dosen mengiyakan saja. Maka terjadilah 6 mata kuliah itu. Hayah. Semester depan saya akan ngerem lagi ah.
Sebetulnya ini bisa saya atasi juga. Jika semua mata kuliah saya sudah tersedia secara elektronika, misalnya sudah saya rekam dalam bentuk video, maka kelas saya juga dapat saya ajarkan secara daring. Jadi saya dapat mengajar beberapa kelas secara paralel. Toh mahasiswa tinggal nonton video, membaca buku dan bahan bacaan lainnya (makalah, standar), dan mengerjakan tugas-tugas (quiz, pekerjaan rumah) yang juga sudah dapat dibuat secara elektronik. Artinya, batas waktu juga bisa saya jebol. Nah, sekarang masalah berpindah ke mahasiswa.
(Catatan: itulah sebabnya dosen dan guru, mari kita buat versi elektronik dari kuliah / kelas kita.)
Sulit bagi mahasiswa untuk mengambil beberapa mata kuliah secara paralel. Saat ini tidak mungkin. Suatu saat mungkin ditemukan cara untuk melakukannya. Maka pada saat itu, batas ruang dan waktu sudah bisa kita libas. Whoah!
Dalam rangka mengurangi penyebaran virus corona, jaga jarak atau social distancing dilakukan. Maka sekolah-sekolah dilakukan secara daring (online). Sekolah dilakukan dari rumah dengan menggunakan internet atau mekanisme lainnya (radio, tv dan seterusnya), meskipun internet merupakan hal yang utama.
Ada beberapa masalah dengan sekolah dari rumah ini. Masalah tersebut dapat kita bagi dua; (1) akses terhadap materi, dan (2) ketersediaan materi pelajaran.
AKSES
Masalah akses, khususnya akses internet, di Indonesia ini masih riil. Digital divide adalah masalah yang nyata. Sebagai negara yang memiliki ukuran fisik besar, ini bukan masalah yang mudah. Masih ada banyak daerah yang tidak memiliki akses kepada telekomunikasi, apa lagi internet. Jadi masalah utamanya adalah ketersediaan: ada atau tidak ada akses.
To do: perbanyak akses internet di berbagai tempat. Bagaimana dengan program USO dahulu?
Masalah kedua adalah harga. Harga akses ke internet saat ini sebetulnya sudah dapat dikatakan terjangkau jika digunakan untuk keperluan yang “biasa-biasa” saja dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Masalahnya, yang kita hadapi saat ini bukan masalah “biasa” saja. Akses yang dibutuhkan saat ini malah langsung ke kualitas video (kelas, perkuliahan). Jadi kita melewati teks, langsung ke video. Artinya kuota yang dibutuhkan langsung besar.
Bayangkan satu keluarga dengan dua orang anak. Maka dibutuhkan akses internet untuk 3 atau 4 orang (dua orang anak dan orang tua). Ini akses internet dengan kuota yang besar. Untuk akses teks atau media sosial biasa tidak terlalu masalah, ini untuk akses video.
To do: akses internet murah untuk pembelajaran.
Saat ini mulai ada inisiatif dari provider yang memulai dengan memberikan harga murah untuk akses kepada situs-situs pembelajaran tertentu. Contoh adalah produk dari Telkomsel ini, “Merdeka Belajar Jarak Jauh dengan Kuota Belajar Rp10!“. (Update: dapat kabar dari kawan bahwa produk Telkomsel ini tidak bisa diulang karena ada yang abuse untuk beli ratusan GB.)
MATERI PEMBELAJARAN
Jika masalah akses sudah susah, maka masalah ketersediaan materi pembelajaran juga tidak kalah susahnya. Saat ini belum banyak tersedia materi pembelajaran dalam bentuk elektronik yang dapat diakses secara daring.
Sudah ada banyak upaya untuk membuat materi pembelajaran dalam bentuk elektronik, tetapi masih belum mencukupi dan masih menggunakan kaidah lama. Artinya kita baru sebatas melakukan pemindaian (scanning) materi lama ke dalam bentuk elektronik. Hal ini belum mengantisipasi bahwa ada banyak teknologi lain yang dapat digunakan untuk pendidikan. Ini seperti membuat mobil dengan mengacu kepada delman. Atau membuat komputer dengan mengacu kepada mesin ketik. Tidak akan terbayang bahwa komputer dapat melakukan pertukaran data melalui mekanisme file sharing. Mesin tik tidak memberikan bayangan file sharing.
Perlu dimengerti bahwa kita tiba-tiba dihadapkan kepada masalah ini karena adanya virus corona yang memaksa kita untuk melakukan transformasi digital dengan segera. Dari dahulu kita mencoba melakukannya tetapi karena tidak terpaksa, langkahnya lambat. Sekarang terpaksa. Namun perlu dipahami bahwa membuat materi pembelajaran ini tidak mudah dan membutuhkan waktu.
Kita mulai dari pemindaian (scanning) materi. Kemudian dilakukan dengan menulis ulang materi tersebut ke dalam dokumen presentasi dan dokumen word processing. Ini sudah merupakan peningkatan, tetapi menurut saya ini masih memiliki masalah. (Lihat tulisan saya, “Membaca Buku atau Menonton Video“.) Menurut saya, perlu dikembangkan materi dalam bentuk video karena siswa sekarang cenderung untuk lebih menyukai pelajaran dalam bentuk visual (dan audio). Tentu saja membuat materi pendidikan dalam bentuk seperti ini menjadi lebih sulit, lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dan membutuhkan sumber daya komputasi yang lebih banyak.
To do: membuat materi pelajaran dalam bentuk video. Perlu pendanaan yang besar untuk ini. Pengembangan materi ini juga perlu kajian lagi karena kebanyakan materi yang ada tidak menarik sehingga pembelajaran kurang optimal. Perlu story tellers. (Ini akan menjadi pembahasan terpisah.)
PENUTUP
Sebetulnya masih ada banyak hal yang perlu didiskusikan, akan tetapi tulisan ini sudah terlalu “panjang” (untuk ukuran kekinian). Akan saya buatkan tulisan untuk bahasan lainnya. Untuk sementara ini mari kita diskusikan tentang hal-hal yang sudah saya ungkapkan di atas. Beri komentar atau masukan Anda.
Tahukah Anda bahwa berdasarkan ranking PISA (Programme for International Student Assessment), Indonesia dalam membaca merosot ke ranking 72 dari 77 negara. Artinya, siswa Indonesia memang tidak suka membaca. Bukan hanya siswa Indonesia, orang Indonesia secara umum tidak suka membaca. Sementara itu pada beberapa pertemuan (yang saya ikuti dan amati) ada beberapa upaya untuk menaikkan minta baca dengan cara membuat banyak buku. Hmmm …
Pendekatan ini menurut saya masih kurang tepat. Kita sudah lama mencoba hal ini dan tidak berhasil. Maka dari itu perlu dilakukan pendekatan lain yang berbeda dari sebelumnya. Out of the box. Dalam hal ini saya mengusulkan untuk membuat video daripada membuat buku. Alasan saya adalah orang Indonesia lebih menyukai audio visual. Video lebih banyak dilihat daripada buku.
Apakah melihat video lebih buruk atau lebih rendah daripada membaca video? Ukuran yang dibuat oleh kebanyakan orang adalah berbasis membaca. Padahal secara kultur, orang Indonesia tidak suka membaca. Sudah pasti kita akan berada pada peringkat rendah. Ini seperti mengukur kehebatan binatang dari kemampuan berenangnya. Lah, kalau seperti ini akan susah. Leopard pasti akan kalah dengan ikan. Demikian pula kalau ukurannya adalah kemampuan memanjat pohon. Maka yang memang adalah monyet, bukan buaya.
Sebetulnya yang lebih utama adalah masuknya ilmu itu ke kita, bukan? Bahwa medianya melalui buku atau melalui video semestinya tidak masalah. Dahulu buku yang paling memungkinkan karena teknologi yang tersedia (dan paling murah) adalah dengan menggunakan percetakan. Sekarang sudah ada YouTube dan cloud untuk menyimpan data dalam bentuk apapun, termasuk video. Jadi sekarang semestinya lebih memungkinkan membuat video.
Masih banyak orang yang tetap ngotot bahwa membaca (buku) dan membuat buku adalah yang paling utama. Bagi sebagian kecil orang Indonesia ini benar. Saya sebetulnya termasuk kelompok yang ini, yaitu kelompok yang lebih suka membaca. Lucunya orang-orang yang mengusulkan perbanyak baca buku bukan orang yang suka membaca buku. Ketika saya tanya buku apa yang sedang dibaca, atau sebutkan sepuluh (10) penulis Indonesia kesukaannya, maka mereka kesulitan menjawab. Persis. Karena mereka tidak suka membaca.
Saya ambilkan contoh yang sedang saya alami ini. Saya sedang membaca dua buku (berserta buku-buku lainnya); (1) Pedro Domingoes – The Master Algorithm, (2) Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism. Kedua buku tersebut merupakan buku yang banyak direkomendasikan oleh orang-orang terkenal (thinkers, leaders) berskala dunia. Ternyata memang buku-buku tersebut bagus. Sayangnya, lambat sekali saya membaca buku tersebut.
Saat ini bacaan saya untuk buku Pedro Domingoes baru sekitar 65% dan buku Prof. Zuboff baru 2% (karena baru memulai). The Master Algorithm bercerita tentang madzhab Artificial Intelligence (AI). Bagus, tapi susah bacanya. Bakalan lama untuk menyelesaikannya. Saya membutuhkan informasi yang cepat. Maka yang saya lakukan adalah saya mencari video tentang buku-buku tersebut. Eh, ada! Maka yang saya lakukan adalah menonton video-video tersebut. Setelah menonton video tersebut maka saya paham esensi dari buku yang sedang saya baca.
Berikut ini adalah link-link video yang saya maksudkan di atas:
Poin yang ingin saya sampaikan adalah menonton video itu bagus untuk meningkatkan minat baca. Harapannya, setelah menonton video tersebut maka orang akan membaca buku-bukunya. Jika akhirnya tidak membaca bukunya pun, setidaknya esensi dari apa yang diutarakan dalam buku tersebut sudah dipahami. Nah, ini yang saya maksudkan perlu diperbanyak video-video yang berkualitas.
Oh ya, contoh video-video yang berkualitas ada banyak. Misalnya video-video yang dibuat oleh National Geographic, BBC, PBS, dan seterusnya. Banyak sekali videonya. Nah, harus dibuat video semacam ini ke dalam bahasa Indonesia.
Oh ya (lagi). Sebagai perbandingan, saya buatkan juga video tentang opini ini. Di bawah ini ada videonya. Anda pilih yang mana? Membaca tulisan ini atau menonton videonya?