Marah atau Tertawa

Ini kejadiannya kemarin. Seperti biasa, Sabtu sore saya main futsal. Kemarin pun demikian. Saya berangkat seperti biasa. Sampai di tempat futsal, saya cari-cari sepatu saya. Ternyata lupa bawa. Hadoh. Kaos bawa, sepatu tidak. Kok bisa ya?

Bagaimana saya menyikapi kejadian seperti ini? Saya bisa marah, tapi bisa juga tertawa. Pilih mana? Saya pilih tertawa saja. HA HA HA. Saya menertawakan diri sendiri. Kenapa kok sampai lupa? ha ha ha. Maka saya pun kembali pulang. Entah kenapa – mungkin karena saya tertawa – maka lalu lintas pun terasa tidak ramai. Bolak balik – ke rumah dan ke tempat futsal lagi – ternyata super lancar. Belum pernah selancar ini. Sampai tempat futsal masih sebelum waktunya main. Whoa. Alam berkolaborasi dengan saya.

Ada banyak kejadian yang serupa yang disikapi banyak orang dengan marah-marah. Biasanya marah kepada orang lain, bukan kepada diri sendiri. Kejadian yang saya alami tadi, yang saya jadikan contoh, memang sangat mudah untuk ditertawakan. Ada banyak kejadian lain yang lebih sulit situasinya. Maka untuk memilih tertawa lebih susah, tapi bisa. Tentu saja ini menurut saya.

Jadi Anda pilih marah-marah atau tertawa?

Sederhanakan!

Zen: the art of simplicity

Entah kenapa, saya selalu mencoba untuk membuat yang kompleks menjadi lebih sederhana. Menjadi lebih mudah dimengerti. Ternyata menyederhanakan masalah itu tidak sederhana. (Rekursif?)

Problem utama dalam menyederhanakan masalah adalah membuatnya tidak menjadi “cemen” (watered down). Masalah tetap menjadi masalah, tetapi lebih mudah dimengerti. Masih masalah. Ya ampun. Kenapa jadi susah begini untuk mencoba menyampaikan penyederhanaan. Ironis ya? Mari kita ambil contoh.

Rumus yang dibuat Einstein ini; E = mc^2  (lebih baik lihat gambar di bawah ini).

emc2

Rumusnya keren kan? Meskipun kita tidak mengerti, tidak apa-apa. Rumus itu demikian sederhananya sehingga kita mudah menghafalnya (dan mudah mengertinya?), meskipun saya yakin di dalamnya sangat kompleks. Itu yang saya sebut menyederhanakan dengan sempurna. Bandingkan dengan persamaan Schrödinger di bawah ini.

schro

Eh, mungkin juga persamaan Schrödinger itu sederhana ya? Hanya saja saya yang tidak mengerti. Sebetulnya masih ada contoh-contoh persamaan lain yang juga rumit, tapi nanti kalau saya tampilkan malah poin utama saya tidak sampai. (Maxwell anybody?)

Kembali ke persoalan menyederhanakan masalah. Dua contoh di atas mudah-mudahan dapat menunjukkan bahwa sederhana itu bagus. Elegan. Lebih mudah dimengerti, meskipun proses untuk membuatnya tidak mudah.

Even if something looks effortlessly simple, it likely took a great deal of effort to reach such a state.

Sisi lain dari menyederhanakan masalah adalah kita dituduh tidak mengerti. Hi hi hi. Sering sekali saya mendapat tuduhan seperti itu. Padahal untuk membuatnya menjadi lebih sederhana itu kita harus mengerti secara mendalam (sehingga dapat mengerti bagian-bagian mana yang dapat dihapus tanpa mengurangi maknanya).

pak, kalau Sederhana … itu nama restoran

hayah …

Jokowi dan 2019

Sesekali saya menemukan tulisan atau pertanyaan tentang bagaimana kans Jokowi menjadi presiden kembali di tahun 2019. Jawabannya tentu saja bergantung kepada siapa yang ditanya. ha ha ha. Secara, Indonesia begitu lho. Menjawab tanpa data. Itu yang pertama. Yang kedua adalah, mengapa sih tahun 2019 diributkan? Ini saja baru masuk ke tahun 2018. Bukannya lebih baik memikirkan tahun 2018? Tapi baiklah. Saya akan coba membuat opini saya. Tentu saja opini ini datang dari pengamat yang bukan bergerak di bidang ilmu Politik. Take it with a grain of salt.

Kalau saya ditanya tentang peluang Jokowi terpilih kembali pada tahun 2019 dengan kondisi saat ini, maka jawaban saya adalah bakal gagal. (Sebelum saya dituduh ini dan itu, saya sampaikan dahulu bahwa saya termasuk yang mendukung Jokowi menjadi presiden. Nah.) Lho?

Mengapa kok tidak bisa terpilih kembali? Bukankah sekarang ada kemajuan di banyak hal, khususnya di bidang infrastruktur? Jawaban saya adalah justru itu masalahnya! Maksudnya bagaimana sih?

Begini, infrastruktur di banyak tempat di Indonesia ini – khususnya di luar pulau Jawa – banyak yang terabaikan. Sekarang ada banyak pembangunan di sana sini sehingga luar pulau Jawa tidak lagi “dianaktirikan”. (To Do: data dan statistik tentang berbagai pembangunan tersebut perlu ditautkan di sini.) Permasalahannya adalah pembangunan ini membutuhkan dana yang luar biasa. Pasti menyedot banyak kas negara. Akibatnya semua warga negara harus memikul biaya ini.

Masalahnya adalah tidak semua orang Indonesia – khususnya yang berada di pulau Jawa – mau berbagi dengan penduduk di luar pulau Jawa. Mereka akan memikirkan dirinya sendiri. Sebagai contoh, ada perbandingan tentang harga bensin sekarang dan beberapa tahun yang lalu. Jika kita melihat harga di pulau Jawa, maka bisa dilihat bahwa harga naik. Tetapi kalau dilihat harga di Papua, misalnya, akan terlihat turun. Bagi orang yang berada di pulau Jawa – yang vokal dan jumlahnya banyak – peduli amat dengan Papua. Harga apa lagi yang dapat diperbandingkan ya? [Ada beberapa meme yang sudah beredar. Seperti misalnya “penak jamanku toh?”]

Penduduk Indonesia masih terfokus di pulau Jawa. Pemilupun akan didominasi dari suara di pulau Jawa. Dimana-mana juga, tempat yang populasinya padatlah yang menentukan hasil pemilihan suara. Itulah sebabnya jika masalah persepsi ini tidak ditangani, maka kans Jokowi di 2019 akan kecil.

Subsidi dikurangi. Selain BBM, biaya listrik contohnya. Bagi masyarakat yang sudah biasa ngempeng,  ini merupakan pukulan. Mereka masih tetap ingin seperti bayi. Tidak ingin dewasa kalau dilihat dari soal subsidi ini. Maka persepsi semuanya menjadi mahal menjadi bertambah. Padahal mereka tidak melihat perbaikan infrastruktur dan kemudahan-kemudahan yang sekarang mereka peroleh. Growing up is never easy.

Intinya: persepsi masalah ekonomi yang dilihat oleh penduduk pulau Jawa.

Oh ya, sekalian untuk pak Jokowi. Jangan hanya bangun infrastuktur saja pak. Suprastruktur juga harus dibenahi. Tapi yang lebih penting adalah manusianya yang harus dibenahi. (Apakah “Revolusi Mental” masih berjalan?) Banyak inisiatif yang “merendahkan” kemampuan manusia Indonesia. Patronizing. Semua harus disuapi. Dan sejenisnya. Yang ini tentu saja lebih susah dibenahi daripada infrastruktur fisik. Tapi, masalah infrastruktur yang sulit juga bisa dibenahi mengapa yang ini juga tidak dicoba?

Kembali ke soal pembangunan infrastruktur, siapa “Bapak Pembangunan” Indonesia? Yep. Itulah sebabnyak banyak orang yang khawatir pak Jokowi akan menjadi “Bapak Pembangunan Kedua”. Seingat saya ada karikatur yang dibuat oleh Kompas atau Tempo ya yang menampilkan hal ini? (Karikatur yang sama sempat saya lihat di sebuah presentasi tentang politik Indonesia di sebuah seminar di Australia.)

[Tulisan ini sudah lama ingin saya buat tetapi selalu tidak jadi saya lakukan karena saya membutuhkan data yang lebih banyak. Namun data tersebut tidak kunjung saya cari. ha ha ha. Akibatnya tidak jadi ditulis terus. Lha kapan jadinya. Ya sudah. Saya buat versi ini dulu yang nanti akan saya perbaharui dengan data dan analisis yang lebih baik. Oh ya, ini bukan parodi. Ini opini. Just in case you are wondering.]

Berkomentar

Sejalan dengan makin diterimanya sistem elektronik (blog, media sosial, dan sejenisnya) dalam berdialog, berkomentar atau mengomentari komentar-komentar lainnya (apa sih ini … hi hi hi) sudah menjadi kebiasaan. Nah, sebelum menjadi kebiasaan yang buruk, mari kita belajar untuk membuatnya menjadi yang baik.

Satu hal yang sering mengganggu bagi saya adalah adanya orang yang asal berkomentar tanpa memperhatikan yang dia komentari. (Mumet?) Contohnya begini, ada sebuah dikusi tentang teori relativitas dan kemudian ada komentar dari Einstein. (Iya, Einstein sudah tiada. Ini kan hanya contoh. Contoooohhhh ya.) Setelah itu ada orang yang komentar ngasal. Yang lebih “mengerikan” (lucu?) adalah sang komentator ini kemudian menyarankan Einstein untuk belajar Fisika dulu. “Makanya, belajar Fisika dulu bro“. Pakai “bro” pula. ha ha ha. Dia tidak tahu dan TIDAK MAU MENCARI TAHU bahwa lawan bicaranya adalah Einstein.

Di zaman internet saat ini, untuk mencari tahu tentang seseorang itu sangat mudah sekali. Ada Google (dan kawan-kawannya). Klik sedikit maka kita tahu bahwa Einstein itu paham soal Fisika. Masalahnya adalah mau atau tidak maunya.

make-a-comment-like-a-boss-done

Oh ya, saya pun beberapa kali pernah di-masbro-kan seperti contoh Einstein di atas (untuk bidang yang berbeda). Ha ha ha. (Bidang apa? Ya tinggal dicari sebagaimana dicontohkan tadi.)

Inti yang ingin saya sampaikan adalah ketika kita akan memberikan komentar maka ketahui dahulu lawan bicara kita. Itu saja.

Campur Aduk

Sebetulnya banyak yang ingin saya tulis, tetapi semuanya campur aduk di kepala ini. Biasanya saya corat-coret dulu di kertas – seperti ToDo List – baru kemudian saya pilih yang mana yang mau saya tuliskan dulu (dan yang lainnya akan terlupakan). Saya coba untuk langsung menuliskan di blog ini, tapi selalu tidak berhasil. Masalahnya ketika menuliskan di blog ini ada semacam “standar kualitas” yang ingin saya terapkan. Kalau terlalu ngaco nanti orang-orang malah pusing. Sementara itu kalau saya corat-coret di kertas, yang mana hanya saya sendiri yang akan melihatnya, maka saya bisa suka-suka. Lagian kertas lebih mudah dicorat-coret secara ngasal. (Sudah pernah juga nyoba pakai iPad tapi gak jalan juga.)

Lihatlah tulisan ini yang gak karuan. Inilah akibatnya kalau saya tidak membuat coretan di kertas dahulu. Ngasal weh.

Waktunya corat-coret dulu. Eh, tapi ini meja sudah penuh dengan berbagai hal. Harus dibersihkan dulu gitu?

DSC_0314 desk_0001

Kemampuan Memahami Manusia

Sekarang sedang ramainya dibicarakan tentang Artificial Intelligence (AI) yang dimiliki oleh mesin atau komputer, tetapi tulisan ini malah akan membahas ke-tidak-mampuan manusia dalam memahami manusia lainnya. Manusia adalah makhluk yang berkomunikasi dengan manusia lainnya. (Eh, mungkin dengan non-manusia juga.) Namun kemampuan berkomunikasi ini tidak diajarkan. Seolah-oleh dia akan dimiliki secara otomatis. Berkomunikasi harus memahami lawan komunikasinya.

Masalah yang ada di lingkungan kita hari ini banyak yang berakar dari ketidakmampuan manusia untuk memahami manusia lainnya. Entah tidak mampu atau tidak peduli alias egois. Saya anggap tidak mampu, karena saya masih berasumsi baik. Contoh yang paling ekstrim adalah komunikasi di dunia siber, seperti di jejaring sosial. Banyak salah pengertian. Di jalan raya juga banyak kecelakaan yang terjadi karena pengemudi saling salah pengertian. (Itulah sebabnya anak-anak dilarang mengendarai motor karena kemampuan memahami pengendara yang lain dan memprediksi apa yang akan dilakukan oleh pengendara lain tersebut sangat minim atau belum ada.)

Di dunia nyata, ketika kita berbicara dengan seseorang maka kita dapat melihat gesture dari lawan bicara kita. Kita dapat melihat apakah dia bingung, marah, senang, sedih, bisan, dan seterusnya. Ketika kita berkata sesuatu dan lawan bicara kita melotot maka kita dapat langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dari kata-kata kita. Di dunia siber, ini sulit kita deteksi. Kita juga bisa melucu dan melihat lawan bicara kita tertawa atau terdiam (karena lawakan kita tidak lucu atau dia tidak dapat menangkap kelucuannya). Seketika itu juga. Nah, di dunia siber susah. Ada emoticons yang membantu kita untuk mengungkapkan perasaan kita, tetapi itu tidak cukup.

Akibatnya sering terjadi tulisan yang tujuannya sekedar gurauan, lawakan, parodi, dianggap sebagai sesuatu yang serius. Kacaulah hasilnya.

Bagaimana mengajarkan kemampuan untuk memahami manusia? Apakah perlu ada pendidikan formal? Atau informal? Nampaknya kita tidak pedulu tentang hal ini dan berharap bahwa manusia akan belajar dengan meniru manusia lainnya. Sialnya kalau manusia yang dia tiru adalah manusia yang tidak punya kemampuan (memahami manusia) itu. Wadaw …

Aku Tak Mau Melayani Kamu, Karena …

Mundur beberapa tahun. Flash back. Di sebuah tempat nun jauh di sana.

Ada sebuah kedai yang menjual makanan dan minuman. Pada suatu hari ada seseorang yang ingin membeli makanan di kedai tersebut. Dia sudah menyiapkan uangnya dan kemudian memasuki kedai tersebut. Pemilik kedai menyambutnya, tetapi bukan seperti yang dia perkirakan.

Pemilik kedai: “Maaf, kami tidak dapat melayani Anda”
Calon pembeli: “Lho? Kenapa?”

Awalnya pemilik kedai berkelit. Muter-muter. Mencari pembenaran. Namun akhirnya dia menjawab juga dengan alasan sebenarnya.

Pemilik kedai: “Maaf, kami tidak dapat melayani Anda karena warna kulit Anda”
Calon pembeli: “Memangnya kenapa warna kulit saya?”
Pemilik kedai: “Kulit Anda berwarna”

Ah … itu sebabnya. Ternyata kedai itu hanya melayani orang memiliki kulit yang sama. Apartheid. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di Afrika Selatan saja, tetapi di Amerika dan juga di Indonesia. Sejarah menceritakan bagaimana orang yang memiliki kulit berwarna tidak layak untuk menerima layanan. Salahkah sang pemilik kedai? Bukankah hak dia untuk menolak pembeli? Bagaimana menurut Anda?

Maju ke depan. Fast forward. Jaman sekarang banyak orang yang merasa bahwa penolakan memberikan layanan karena calon pembeli berbeda itu sudah tidak ada, tetapi ternyata ini adalah pendapat yang salah. Saat ini dapat kita temukan orang-orang yang tidak mau memberikan layanan kepada orang yang berbeda warna kulit, berbeda pandangan politik (atau klub sepak bola), berbeda agama, berbeda suku, dan seterusnya. Tanpa disadari dia melakukan apa-apa yang pernah dilakukan oleh bangsa penjajah kepada bangsanya.

Ah. Sadarkah kita?

Analogi Bitcoin

Sekarang Bitcoin sedang ramai diperbincangkan. Sebetulnya apa itu Bitcoin? Daripada menjelaskan tentang Bitcoin (atau cryptocurrency lainnya), lebih baik saya buat analoginya.

Katakanlah sekolah Anda ingin mengadakan acara bazaar. Di acara tersebut ada penjualan makanan dan minuman. Agar penjualan makanan dan minuman terkendali maka panitia membuat aturan bahwa pembelian makanan dan minuman dilakukan dengan menggunakan kupon. Kupon dijual dalam pecahan Rp. 20.000,-. Maka mulailah orang yang hadir di bazaar tersebut membeli kupon.

Untuk menghindari terjadinya fraud, penipuan, kupon palsu dan sejenisnya maka jumlah penjualan kupon dibatasi. Hanya ada 500 kupon yang tersedia.

Eh, ternyata makanan dan minuman yang ada di sana enak-enak. Maka orang mulai mencari kupon. Walah. Jumlah kupon yang tersedia ternyata terbatas. Maka mulailah kupon dicari. Tiba-tiba ada orang yang menjual kuponnya. Kupon yang harganya Rp. 20.000,- dijual seharga Rp. 25.000,-. Lumayan, untung Rp. 5.000,-. Malah ada orang yang menjual kupon itu dengan harga Rp. 30.000,-.

Begitu melihat kupon dapat dijual lebih mahal dari harga belinya maka orang mulai memperjualbelikan kupon. Kupon lebih dicari lagi. Harga makin naik lagi. Sekarang harga kupon menjadi Rp. 100.000,-. Wow!!

Lucunya, orang-orang tidak menggunakan kupon itu untuk membeli makanan. Justru jual beli kuponnya yang menjadi fokus kegiatannya.

Lantas bagaimana nasib penjual makanan dan minuman itu? Hmm … sebentar kita cek dulu. Ternyata jual beli makanan dilakukan dengan uang Rupiah saja karena daripada tidak ada yang beli dan kupon malah disimpan (dan diperjualbelikan) oleh orang-orang. Kupon tidak jadi solusi.

Bazaar akan selesai. Bagaimana nasib harga kupon setelah bazaar selesai? Anda tahu sendiri.

Update: yang ini belum tentu benar, tapi lucu saja. hi hi hi.

bitcoin-mania

Konsistensi (Dalam Berolahraga)

Topik yang ingin saya bahas kali ini adalah konsistensi dalam berolahraga. Sebetulnya masalah konsistensi ini tidak hanya terbatas kepada olah raga saja, tetapi untuk hal-hal lain. Sama sebetulnya. Tetapi agar dapat dipahami, saya ambil yang khas olah raga.

Salah satu tantangan terbesar dalam berolahraga adalah konsistensi. Yang saya maksudkan dengan konsistenasi adalah kegiatannya dilakukan secara rutin, terus menerus, berkala atau terjadwal. Selalu saja ada alasan untuk tidak melakukan olah raga, misalnya ketika hari hujan maka itu dapat dijadikan alasan untuk tidak olah raga (tidak pergi ke tempat olah raga). Wah hujan. Tidak sempat, merupakan alasan yang klasik juga. Sibuk nih. Padahal duduk-duduk ngopi bisa. he he he. Alasan yang sebetulnya banyak juga digunakan tetapi tidak mau diakui adalah … malas. ha ha ha.

Saya mengambil futsal sebagai kegiatan olah raga rutin saya. Seminggu dua kali. (Kadang tiga kali.) Ini sudah saya lakukan bertahun-tahun. (Mulai kapan ya? Lupa. Bisa dicek dari postingan di blog ini.) Maka saya dapat main futsal selama 2 jam. Ini bukan hal yang aneh jika kita sudah melakukannya secara rutin. Ada (banyak) orang yang futsal hanya sekali dua kali dalam setahun. Kadang orang yang sama ini merasa harus langsung bisa menjadi jagoan (atau memiliki stamina yang sama) dan kemudian memaksakan diri. Hadoh.

Seperti sudah saya singgung di awal tulisan, bahwa konsistensi ini juga dibutuhkan di bidang lain. Itu akan kita bahas di tulisan lainnya. Sementara ini, bagaimana olah raga Anda? Rutin? Berkala? Kala mau dan kala tidak mau. ha ha ha.

Mencari Developer Software

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri acara Bekraf yang diorganisir oleh Dicoding di Bandung. Acara ini mengumpulkan developer software (pengembang aplikasi) di kota Bandung dan diberikan berbagai pengetahuan (seminar, training). Berikut ini adalah contoh foto yang hadir. Banyak! Lebih dari 1000 orang!

DSC_0217_0001

Namun yang menjadi masalah adalah ketika saya mencari developer, ternyata kesulitan. Sebetulnya mereka ada dimana? Ini adalah sebuah paradoks; katanya banyak SDM yang mencari pekerjaan tetapi ada banyak perusahaan yang kesulitan mencari SDM.

Saya mendapat permintaan untuk programmer dan support (untuk berbagai jenis software baik yang sudah kadaluwarsa maupun yang masih baru). Akhir-akhir ini malahan dapat permintaan tiap minggu! Nah, apakah perlu saya tanggapi permintaan-permintaan ini dengan lebih serius? Dahulu kami memang pernah memiliki perusahaan outsourcing seperti yang dimaksudkan, tetapi sekarang para pengembangnya sudah tersebar. (Ada yang pindah ke luar kota, mengambil kuliah di luar negeri, menjadi freelancer, membuat perusahaan sendiri, atau menjadi bagian dari perusahaan kami lainnya.) Nah, perlukah kami membuat kembali perusahaan ini?

Apakah Blockchain Menjadi Solusi?

Salah satu janji yang digadangkan oleh Blockchain – teknologi yang berada di belakang Bitcoin – adalah dapat membuat biaya transaksi menjadi sangat murah. Janji tinggal janji. Saat ini saya belum melihat ini terjadi. Kebanyakan orang masih fokus kepada aspek “oportunis” dari crypto currency ini.

Saya masih membutuhkan sebuah sistem pembayaran yang biayanya murah untuk toko musik digital saya. (Lihat: toko.insanmusic.com) Harga sebuah lagu adalah Rp. 5000,-. Sementara itu sistem pembayaran yang ada sekarang hampir semua meminta biaya (per) transaksi di atas Rp. 5000,-. (Bahkan ada yang meminta biaya transaksi Rp. 15.000,-!) Tekorlah saya kalau biaya transaksinya seperti itu. Seharusnya biaya transaksinya adalah Rp. 100,- gitu.

Kalau sampai akhir tahun ini (2017) tidak ada yang dapat memberikan solusi, tahun depan (2018) kayaknya saya harus membuat sebuah sistem pembayaran sendiri.

Punten … Permisi …

Bangsa Indonesia dikenal sebagai sebagai bangsa yang penuh dengan sopan santun. Eh, ini masih ya? Atau ini jaman dahulu? Mungkin ini bukan hanya Indonesia saja ya? Katanya sih ini salah satu karakteristik orang “Timur”.

Tinggal di luar negeri dalam waktu yang cukup lama, saya melihat bahwa budaya sopan santun (basa basi?) ternyata tidak dimonopoli oleh bangsa Timur saja, tetapi juga oleh orang Barat juga. Di Kanada, orang sangat sopan santun. Kalau pagi-pagi ketemu orang – yang tidak kita kenalpun – pasti dia akan bilang “Good morning“. Tapi ini mungkin juga Kanada yang memang dikenal banyak sopan santunnya. Bahkan salah satu guyonannya, kalau di Kanada ada maling masuk rumah dan ketahuan oleh yang punya rumah maka sang maling akan ditegur, “I am sorry, maybe you are in the wrong house?” ha ha ha.

Kembali ke topik utama, soal sopan santun. Saya melihat anak muda sekarang mulai kehilangan karakter itu. Sebagai contoh, saya melihat banyak anak muda yang kalau jalan dia tidak peduli dengan sekitarnya. Kalau ada pintu yang kita bukakan dan kita pegang (budaya Barat nih), dia tidak mengucapkan terima kasih. Lewat aja. Excuse me? Kalau ada orang-orang pun dia lewat aja.

Saya membiasakan diri untuk sopan. Ketika melewati orang – tua atau muda – saya selalu berusaha untuk mengatakan “Punten” (ini bahasa Sunda yang artinya “Permisi”). Gesture seperti ini harus diajarkan kepada generasi muda (yang tua juga sih). Itulah sebabnya saya merasa perlu untuk menuliskan topik ini.

Sudahkah Anda mengatakan “Punten” (Permisi) hari ini?

Kopi

Banyak yang mungkin belum percaya kalau saya ini penggemar kopi. Maklum, di blog ini saya jarang menuliskan soal kopi. Dahulu saya ragu untuk menulis tentang kopi karena saya tidak tahu apa yang akan saya tuliskan. (Padahal untuk topik lain juga kondisinya sama. ha!) Tapi akhirnya saya putuskan untuk menuliskan tentang kopi juga.

Di Facebook, saya sering menampilkan foto-foto tentang kopi. Jadinya banyak orang yang tahu saya suka kopi. Akibatnya, saya sering mendapatkan kopi. Pokoknya bervariasilah kopi yang saya terima. Berikut ini beberapa contoh foto kopi yang baru-baru ini saya terima.

DSC_0008 kopi_0001
Kopi RukunRakun

DSC_9119 kopi_0001//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

Selamat menikmati kopi.

Merakit Kode Besar

Sudah lama saya tidak merakit (compile) kode yang cukup besar sehingga menghabiskan waktu yang cukup lama. Kemarin saya merakit kode Tensorflow dari source code karena paket yang sudah jadi tidak sempurna jalannya di notebook saya. Terpaksa harus merakit ulang.

Eh, ternyata proses kompilasi membutuhkan waktu yang lama. Setelah 3 jam tidak kunjung berhenti, akhirnya saya tinggal main futsal dahulu. Pulang main futsal baru selesai. Saya tidak tahu tepatnya kapan selesainya, tetapi berarti antara 3 sampai dengan 6 jam. Ajegilebusyet.

Terakhir saya melakukan proses kompilasi yang lama (seingat saya) adalah di awal tahun 90-an. Waktu itu saya merakit kernel Linux dari source code di komputer dengan prosesor 386SX berkecepatan 16 MHz. Memorinya waktu itu di bawa 2 MBytes. Jadul banget ya? Dibandingkan handphone saat ini, komputer saya waktu itu tidak ada apa-apanya.

Proses kompilasi kemarin dilakukan di notebook yang menggunakan prosesor i3 dengan memori hanya 2 GBytes. Notebooknya sampai tidak responsif saking kerja kerasnya dia. ha ha ha. Kasihan juga sih, tapi apa boleh buat. Itu yang saya miliki. Tidak boleh mengeluh. (Anak muda zaman now maunya harus menggunakan komputer yang high-end. Gak mau kerja kalau tidak menggunakan komputer yang bagus. hi3. Ini saya contohkan bahwa sayapun masih menggunakan komputer apa adanya.)

Alhamdulillah hasil perakitan berjalan. Coba kalau tidak jalan. Wah. Harus merakit jam-jaman lagi. Ugh. (Dahulu kalau salah konfigurasi, hasil perakitan kernel tidak jalan. Harus merakit ulang. Dapat dibayangkan kesabaran yang harus saya lalui.)

Selamat ngoprek.

Verifikasi NIK dan KK

Mumpung sedang ramai-ramainya dibahas tentang pendaftaran ulang nomor kartu telepon prabayar, mari kita diskusikan aspek teknis. Kesempatan untuk belajar “protokol”.

Ceritanya kita sebagai pengguna diminta untuk mengirimkan NIK dan KK melalui SMS ke 4444. Saya punya masalah dengan mengirimkan KK. Mengapa harus mengirimkan KK? Permasalahannya adalah operator jadi memiliki KK kita. Untuk apa? Seharusnya kita berikan informasi secukupnya saja. Sesedikit mungkin. Ini masalah privasi. Pertanyaannya adalah bagaimana cara operator dapat memastikan bahwa NIK yang kita kirimkan itu benar (terasosiasi dengan KK)?

Berikut ini adalah video yang saya buat (beberapa menit yang lalu). Sekalian nyoba nge-vlog agar kekinian. hi hi hi.

Selamat menikmati videonya. Semoga bisa menjadi sumber pembelajaran.

Update: Ini ada cuplikan dari berita. Di gerai bisa akses KK; diberikan data NIK, keluar KK-nya. Parah. Ini seharusnya tidak boleh karena data KK kemudian dapat dikumpulkan.

NIK KK

Update lagi: berikut ini adalah tampilan layar papan tulis (whiteboard) ketika saya mengajar network security di kelas.

P_20171108_084040 NIK KK//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

P_20171108_090635 NIK KK//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

P_20171108_092802 NIK KK//embedr.flickr.com/assets/client-code.js