kata

Setiap mendengar kata itu
Badanku bergetar
Ketakutan
Tak sanggup aku mengatakannya

Konon katanya
Gunung dan lautan
Bahkan hutan pun
Tak sanggup untuk mengatakannya

Aku <kata> padamu
Sungguh
Namun
Tak sanggup aku mengatakannya

Jika kau tak pernah mendengar kata itu
Bukan aku tidak <kata>
Hanya
Tak sanggup aku mengatakannya

Raja Dunia Siber

Akulah Raja … Dunia Siber
Raja dari dunia yang kucipta sendiri
Lengkap dengan istana dan mahkota

Kau adalah Ratu … Dunia Siber
Ratu dari dunia yang kau cipta sendiri
Lengkap dengan kebohongan yang kau cipta

Akulah Raja …
Kau adalah Ratu …
Dunia Siber
Kita penguasa dunia kita, sendiri-sendiri

Akulah Raja … Dunia Siber
Raja kebenaran dari semua pembenaran
Semua harus setuju dengan aku

Akulah raja yang paling tampan … (di dunia siber)
Kaulah ratu yang paling cantik … (di dunia siber)
Akulah raja yang paling kaya … (di dunia siber)
Kaulah ratu yang paling gaya … (di dunia siber)


Kita yang terbaik … di dunia siber

Menjadi Matahari

Hanya memberi
Meski hanya sendiri

Tak boleh menaruh harapan
Agar orang paham akan

Karena tak semua orang mampu
Karena tak semua orang mau
Menjadi Matahari

Ketika hari gelap
Dan semua terlelap

Tak boleh berhenti
Meski sejenak

Karena engkau
Tetap harus
Menjadi Matahari

Suatu saat nanti
Ketika Yang Kuasa
Meminta kau untuk berhenti
Menjadi Matahari

Gara-gara Perkembangan Teknologi

Perkembangan teknologi ternyata bikin saya pusing. Begini. Saya kan menulis cerita tentang “Jek dan Sar” (linknya nanti saya pasang di sini). Cerita ini terhenti cukup lama. Tahunan. Terus apa hubungannya dengan teknologi?

Dalam cerita “Jek dan Sar” itu mereka berkomunikasi dengan menggunakan SMS. Nah, jaman sekarang siapa yang menggunakan SMS? Anak-anak milenial pasti akan tertawa sampai sakit perut kalau masih ada orang berkomunikasi dengan menggunakan SMS. Tidak masuk akal. Hanya teks saja dan bayar pula!

Kalau cerita saya itu mau kekinian, maka semuanya harus saya tulis ulang dengan menggunakan WA/Telegram (atau apapun program messaging yang sedang populer saat ini). Bahkan akan lucu kalau Jek dan Sar tidak saling kirim foto lewat Instagram, misalnya. Nah lho.

Kalau cerita saya tulis dengan setingan lama – jama SMS itu – maka saya yang pusing karena saya harus terbang ke waktu jaman itu. Beban ada di saya. Meskipun ini mungkin adalah pilihan yang paling logis. Toh cerita-cerita yang mengambil setingan waktu jaman dahulu pun masih tetap mungkin. Lah Dilan saja mengambil setingan waktu tahun 1990-an. Berarti saya saja yang kurang kreatif. Ha ha ha.

Jadi bagaimana bagusnya?

Sidang MK (babak 2)

Judul tulisan ini memang tendensius, “Sidang MK” gitu lho. Lah kan suka-suka saya, mau saya kasih judul “Sidang MK” atau “Game Mortal Kombat” juga terserah saya kan? he he he. Tapi kan bapak pakai “babak 2”. Mana “babak 1”-nya pak? Lah, apa memang harus urut? Kata siapa? Saya mau mulai dari “babak 17” terus mundur juga ndak apa-apa kan? Yo wis pak. Karepmu. Pastilah. he he he.

Kembali ke topik. Sidang MK. Saya tidak mengikuti siaran Sidang MK di televisi. Kenapa tidak? Lah, kenapa harus? Sekarang saya tanya ke Anda, “apakah Anda mengikuti FIFA Women’s World Cup?”. Tidak juga kan? Kenapa? Karena bagi Anda itu tidak penting. Nah, sidang MK juga bagi saya tidak menarik karena sudah tahu hasilnya. Berikut ini adalah narasi tanya jawab kepada saya.

Penanya: Lho, bapak sudah tahu hasil sidang MK?
Saya: Ya sudahlah. Sama dengan saya sudah tahu hasil akhir “FIFA Women’s World Cup”
Kok bisa pa? Bapak ahli nujum ya?
Bukan. Saya hanya ahli logika.
Coba buktikan. Kalau bapak sudah tahu hasil “FIFA Women’s World Cup?”, nantinya hasilnya bagaimana?
Mau bukti? Nanti hasilnya adalah “Indonesia tidak juara di Women’s World Cup” itu. Silahkan nanti buktikan.
Oalah paaak. Kan Indonesia tidak ikutan.
Lah, kan saya tidak mempermasalahkan itu. Yang penting hasilnya saya sudah tahu kan?
[yang nanya mulai mangkel. kezel.]

Ok deh. Kalau begitu, bapak tahu hasil akhir MK?
Sudah tahu juga.
Apa? Atau, bagaimana?
Sebetulnya mau saya ceritakan, tapi nanti Anda malah tambah mangkel. Jadi tidak usah saya ceritakan.


[yang nanya langsung ngeloyor pergi tanpa pamit. menengok pun tidak. ketika sudah agak jauh, saya lihat jari tangannya menunjukkan sesuatu. saya yakin bukan jempol, tapi saya tidak tahu apa itu.]

Kere Penjelajah Waktu (2)

Sebentar, sebentar. Kucek-kucek mata dulu. Tempat ini kok seperti tidak berubah tapi seperti ada yang aneh juga. Melihat ke kiri. Ke kanan. Ah, tidak ada yang berubah. Ini masih tempat yang sama, halaman tetangga.

Perlahan cengkeraman tangan mulai mengendor. Aku masih terduduk di becak tetangga. Tadi itu kenapa sih? Ada cahaya yang berlalu dengan cepat di kiri dan kanan. Mungkin hanya kelelahan dari membaca semalaman? Mungkin mata masih mencoba menyesuaikan diri. Ah itu.

Perlahan aku bangkit dan turun dari becak. Melihat ke sekeliling. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat. Eh, nampaknya pak Asep yang biasa jaga malam di sekitar koskosan sudah bangun. Pelan-pelan aku berjalan kembali ke koskosan. Berpapasan dengan pak Asep yang sedang mengaduk kopi.

Good morning,” kata pak Asep.

Walah. Edun sekali pak Asep ini. Menyapa dalam bahasa Inggris. Aku meringis. Tidak menjawab. Senyum sedikit saja sambil terus ngeloyor ke kamar. Eh, sebentar. Mau iseng ah. Aku kembali lagi menengok ke pak Asep.

“Belajar bahasa Inggris dimana, pak?” tanyaku.

Excuse me?” kata pak Asep mengagetkanku. Tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Pak Asep terlihat seperti bingung. Bentar, bentar. Ini bingung ketemu bingung.

“Iya, pak. Pak Asep belajar bahasa Inggris dimana?” kuulangi pertanyaanku.

I am sorry, I don’t understand,” jawab pak Asep dengan wajah yang tulus. Kini aku yang bingung. Ini gimana? Apa aku sedang kena prank, atau gimana nih? Ini apa sih? Dari pada melanjutkan pembicaraan yang tambah bingung, akhirnya kuputuskan untuk berjalan ke depan saja. Membiarkan pak Asep yang masih menatapku dengan pandangan bingung.

Ada warung agak sebelah kanan yang sudah mulai buka. Lapar. Mau beli sesuatu dulu ah. Aku berjalan ke warung sambil tetap memikirkan kejadian barusan. Pasti ada penjelasan yang logis.

Di depan warung, aku terhenyak. Tulisan-tulisan di depan warung terlihat sama, tetapi kok dalam bahasa Inggris. Ada iklan rokok dalam bahasa Inggris. Kemarin rasanya bukan itu deh tulisannya.

Morning,” ibu penjaga warung menyapa. Aku kaget. Berdiri terdiam. Menatap penjaga warung yang terlihat masih seperti orang Indonesia normal. Dia menatap balik. Heran melihat aku yang terdiam.

“Ada roti, bu?” tanyaku dengan sedikit was-was.

I am sorry?” jawab si ibu penjaga warung sambil mengerinyitkan dahinya. Lengkaplah sudah kebingunganku.

Do you have bread?” tanyaku sambil mengingat-ingat pelajaran bahasa Inggris.

Those are the ones we have,” entengnya jawaban si ibu penjaga warung sambil menunjukkan tumpukan roti buatan “lokal” sambil terus menata barang-barang dagangannya. Kuambil satu roti isi sambil memperhatikan tulisan yang ada di roti itu. Bahasa Inggris. Hmm…

Bentar. Untuk memastikan bahwa ini bukan orang yang mau ngerjain aku, kurogoh dompet. Mau melihat kartu-kartu yang ada di dompet. Mari kita lihat SIM. Kartu kukeluarkan. Wharakadah … tulisannya dalam bahasa Inggris.

Baru kusadari bahwa ini nyata. Semuanya – fisik – masih tetap, tetapi nampaknya orang-orang menggunakan bahasa Inggris. Apakah ini tadi gara-gara becak itu? Dunia apa ini? Harus kucari tahu. Nanti. Sekarang sarapan dulu.

Coffee, please,” kataku kepada si ibu penjaga warung.

Coming,” jawabnya sambil mengambil satu sachet kopi. Menggunting ujungnya. Hmm… dalam dunia aneh ini pun kopinya masih kopi gunting. hi hi hi.

[Bagian 1]

Kere Penjelajah Waktu

Pagi hari yang cerah. Waktunya menyapa matahari. Kurapikan tempat tidurku, yang sebenarnya hanya sebuah sleeping bag. Maklum, kamar yang kutinggali ini cukup mungil. Tidak cukup untuk sebuah tempat tidur yang ukurannya paling kecil sekalipun. Panjang kamar tidur ini hanya cukup untuk sleeping bag tadi dan sajadah. Itu sudah cukup bagiku. Aku tak punya banyak barang. Hanya ada satu ransel yang teronggok di ujung, berdekatan dengan sepasang sepatu boots.

Aku adalah seorang penjelajah waktu. A time traveller. Dalam artian sesungguhnya. Harfiah. Tentu saja banyak orang yang tidak percaya. Kamu percaya? Pasti tidak! Saya mengerti. Ada banyak hal yang tidak masuk akal pada saat ini. Ilmu yang kalian pelajari belum sampai ke sana. Akupun akan tidak percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Bagaimana ceritanya?

Pada suatu masa ketika aku baru menjadi mahasiswa, aku tinggal di sebuah tempat kos-kosan. Tinggalnya di sebuah gang yang sebenarnya cukup lebar. Ini adalah daerah tempat pekerja atau mahasiswa koskosan. Sebelah tempat kosku ada rumah yang agak kumuh. Di depannya ada becak yang nampaknya jarang digunakan. Sebetulnya becak itu masih bisa difungsikan, tapi aku belum pernah melihatnya pindah dari tempatnya.

Seingatku hari itu adalah hari Minggu pagi. Sebetulnya bukan pagi, menjelang Subuh. Semalaman aku tidak tidur, membaca buku. Penat membaca buku, aku keluar dan melihat becak itu. Hmm … tak ada orang. Kuberanikan diri masuk ke halaman tetangga itu dan kunaiki becak itu. Ah, nikmat juga becak ini.

Sambil mengkhayal, tanganku berpengangan ke pinggiran becak. Ayo ngebut. Becak zig-zak. Hi hi hi.

Tiba-tiba terpegang sebuah tombol. Apaan ini? Pencet aja ah …

Ziiii…ngggg … Whoa … tiba-tiba semua berubah mejadi cepat. Cahaya melewati kiri dan kanan … Whoaaaa … cengkeraman tangan makin kuat. Aaaa ….

Sebetulnya mungkin semuanya berlangsung hanya 10 detik, tetapi seakan-akan lama. Tiba-tiba ada yang aneh. Pemandangan di depan berubah … Aku berada di tempat lain. HAH??? Ini dimana???

… [bersambung] ….

[Ke bagian 2]