Mentoring Adalah Fardu Kifayah

Suatu ketika ada yang bertanya kepada saya kenapa saya mau melakukan mentoring, yaitu mengajari yang orang lain (yang biasanya lebih muda) dalam hal entrepreneurship atau start up? Pasalnya saya melakukan ini seringkali tidak dibayar.

Pertama, saya melihat model ini berjalan di luar negeri, yaitu di Silicon Valley. Boleh disimak perjalanan hidup dari para entrepreneur yang sukses. Steve Jobs saya melakukan mentoring (secara tidak formal) kepada Nolan Bushnell, pendiri Atari. Demikian pula para jawara start-up sekarang juga melakukan mentoring kepada Steve Jobs. Nanti yang berikutnya juga melakukan mentoring kepada Mark Zuckerberg, dan seterusnya. Intinya adalah ini adalah model yang dilakukan di sana.

Kedua, proses turunnya ilmu itu banyak yang dilakukan di luar kelas formal. Sekolahan memiliki keterbatasan; jadwal yang ketat, sumber daya (ruangan, orang, dll.) yang terbatas, dan seterusnya. Maka mentoring adalah salah satu solusi.

Jika mentoring ini tidak dilakukan, maka tidak dapat naik kualitas entrepreneur pada masyarakat sekitarnya. Kalau saya tidak membina yang muda-muda, nanti bagaimana ceritanya kalau saya sudah tua? Saya tidak dapat ndompleng mereka. hi hi hi.

Agar mudah dicerna, saya katakan “mentoring adalah fardu kifayah“. (Dalam agama Islam, ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat. Jika salah satu sudah melakukannya, maka yang lain tidak wajib. Sudah gugur kewajibannya. Jika tidak ada yang melakukan, maka berdosalah seluruh masyarakat itu. Ini namanya fardu kifayah.)

Startup Accelerator

Kemarin saya memberikan presentasi di LPIK ITB terkait dengan Startup. Topik yang seyogyanya saya bawakan adalah tentang kaitan antara startup dengan corporate. Acara ini merupakan bagian dari pengenalan Plug and Play Tech Center, sebuah accelerator startup.

Kalau dilihat dari siklus sebuah startup, accelerator ini berada setelah inkubator. Urutannya kira-kira begini. Mulai dari ide. Ide tersebut dikembangkan menjadi produk (atau servis). Pendanaan di awal dapat dimulai dari diri sendiri atau angel investor. Langkah selanjutnya adalah menjadi bisnis betulan. Ada kalanya ini dilakukan melalui inkubator (meskipun sesungguhnya tidak semuanya harus melalui inkubator). Accelerator letaknya setelah itu, yaitu untuk meningkatkan bisnis menjadi lebih besar skalanya.

Plug and Play Tech Center, yang berpusat di Silicon Valley, memiliki beberapa lokasi di dunia. Sekarang mereka baru membuka tempat di Jakarta. Ada banyak layanan yang mereka berikan, mulai dari tempat (co-working space), mentor, pendanaan, dan seterusnya. Silahkan lihat situs webnya.

Presentasi saya akhirnya bercerita tentang perjalanan starting-up saya. Mudah-mudahan menginspirasi. Jreng!

16667160_10210962499791026_1664075578_o
In action. [Foto: Javad]

Pembenaran

Bagaimana memastikan bahwa ide bisnis kita, misal dalam kerangka start-up, sudah pada jalan yang benar? Istilah kerennya adalah validasi. Ada banyak cara yang ditempuh orang. Ada yang ikutan kompetisi, ada yang ikut bimbingan atau mentoring, ada yang ikut asosiasi, dan seterusnya.

Pembenaran juga tidak hanya terjadi di dunia start-up saja tetapi dalam aspek kehidupan kita lainnya. Kita menuliskan sesuatu di media sosial dan berharap banyak disukai (like) oleh banyak orang. Ini juga merupakan salah satu cara untuk mencari pembenaran.

Cara-cara di atas, meskipun sah-sah saja, bukan satu-satunya (eh banyak ya?) yang dapat mengatakan bahwa apa yang kita lakukan sudah benar. Seringkali saya melakukan inisiatif-inisiatif tanpa menunggu pembenaran dari orang lain. Masalahnya adalah banyak inisiatif yang saya lakukan (di dunia internet, bisnis, pendidikan, kepemimpinan, dan lain-lain) banyak yang belum mengerti. Jadi bagaimana mungkin saya menunggu pembenaran dari orang-orang yang belum mengerti? Cara yang saya lakukan adalah jalan terus saja. Kalau kata iklan Nike, “just do it.”

Jadi, saya hanya senyum-senyum saja ketika orang membuat lomba, perkumpulan, atau apapun tanpa mengajak saya. Padahal saya bergerak di bidang itu. ha ha ha. Biarlah. Saya toh tidak mencari pembenaran dari mereka.

Mencari Gojek-nya Pendidikan

Sudah pernahkan Anda menggunakan Go-Jek (termasuk Go-Food, dll.)? Ketika pertanyaan ini saya lontarkan di berbagai pertemuan, jawabannya (sebagian besar) adalah sudah. Singkatnya, bagi banyak orang Indonesia, Go-Jek adalah hal yang natural dari penerapan teknologi terhadap layanan ojek.

Kalau kita ceritakan tentang “ojek” ke rekan kita yang berada di luar negeri, khususnya di negara maju yang memiliki transportasi publik yang bagus, mereka akan heran. Mengapa ada ojek? Mosok ada layanan transportasi publik berbasis sepeda motor?  Mereka akan mempertanyakan keamanan dari layanan ojek tersebut. Segudang pertanyaan lain akan menyusul.

Ada banyak alasan mengapa ojek dan aplikasi Go-Jek tumbuh di Indonesia. Infrastruktur transportasi yang masih belum bagus dan belum merata menyebabkan banyak jalan yang hanya dapat dilalui dengan motor. Gang, misalnya. Kemacetan di jalan besarpun membuat layanan ojek masuk akal. Belum lagi ini membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang Indonesia.

Sesuatu hal yang aneh dan tidak mungkin di luar negeri menjadi sesuatu hal yang lumrah di Indonesia.

Mari kita melirik ke dunia pendidikan. Aplikasi pendidikan apa yang Anda gunakan akhir-akhir ini? Sering? Berapa banyak orang yang menggunakan aplikasi ini? Jawabannya adalah tidak banyak atau bahkan tidak ada. Pemanfaatan teknologi informasi di dunia pendidikan memang masih kalah cepat dengan pemanfaatan di dunia bisnis.

Pendidikan di Indonesia tidak dapat disamakan dengan pendidikan di luar negeri. Lingkungan dan karakter orang Indonesia yang berbeda menyebabkan banyak cara pendidikan luar negeri yang tidak dapat diterapkan secara langsung. Kondisi infrastruktur yang dibutuhkan untuk transportasi publik sama buruknya dengan kondisi “infrastruktur” yang dibutuhkan untuk menjalankan pendidikan.

Nah, apakah “ojek” dari pendidikan di Indonesia? Mungkin ada sesuatu hal yang mungkin dianggap aneh oleh orang Barat, tetapi masuk akal bagi orang Indonesia. Sesuatu yang khas Indonesia. (Kearifan lokal?) Kalau sudah ketemu “ojek”nya, mungkin dapat dibuatkan aplikasi “gojek”nya untuk pendidikan ini.

Kita butuh pemikiran yang berbeda. Mari kita cari “the gojek app for Indonesian education”.

Mentoring

Sesi mentoring untuk the Founder Institute (Jakarta Summer 2016) dimulai lagi dan saya akan ikut serta sebagai salah satu mentornya. The Founder Institute adalah sebuah jejaring dari Silicon Valley yang bertujuan untuk mengajari para pendiri (founder) dari usaha rintisan (startup company) tentang berbagai aspek dalam mengembangkan rintisannya.

13958284_181313635620044_2659001774560875883_o

Harus siap-siap memperbaharui materi presentasi saya nih. Seperti sebelumnya, saya akan bercerita tentang pengembangan produk (product development). Sampai berjumpa di acara mentoring …

Buku Zero to One

Horeee … Selesai baca satu buku lagi. I’m on a roll. Lagi lancar baca buku. Setelah beberapa hari yang lalu menyelesaikan satu buku, barusan selesai baca satu buku lagi. Buku yang baru selesai saya baca adalah “Zero to One” karangan Peter Thiel.

zero-to-one-cover-art

Buku yang ini sebetulnya sudah lama dimulai bacanya, tetapi tidak selesai-selesai. “Masalahnya” (kalau bisa disebut masalah) adalah banyak poin-poin bagus di dalam buku ini sehingga saya harus berhenti dan meresapi poin itu. Baca lagi, berhenti lagi, mikir dulu. Setelah beberapa hari, baca lagi, berhenti lagi, dan seterusnya. Itulah yang menyebabkan lambatnya selesai membaca buku ini. Jadi, buku bagus justru membuat lambat selesai bacanya.

Buku ini bercerita tentang bagaimana membuat perusahaan (startup) yang bagus. Peter Thiel ini dikenal sebagai salah satu pendiri dari PayPal. Sekarang PayPal sudah mereka jual. Pendiri-pendiri PayPal dikenal sebagai “Mafia PayPal” dan mereka kemudian mendirikan berbagai perusahaan yang juga sama (atau lebih) sukses; YouTube, Tesla, SpaceX, dan seterusnya. (Salah satu yang sekarang sedang ngetop tentunya adalah Elon Musk.)

Apa itu “0-to-1”? Maksudnya zero (0) adalah tiada. Tidak ada. Sementara zone (1) adalah ada. Jenis perusahaan yang didirkan sebaiknya adalah yang memberikan layanan atau membuat produk yang dahulu belum ada. Sebagai contoh, dulu belum ada sistem operasi komputer maka kemudian ada Microsoft yang membuat sistem operasi MS-DOS. Dahulu belum ada tempat orang kongkow-kongkow online, sekarang ada Facebook. Kalau membuat kantor cabang dari sebuah usaha yang sudah ada (membuka di kota lain, di negara lain) itu namanya dari “1” ke “n“. Ini tidak terlalu menarik.

Startup yang sukses adalah yang membuat sesuatu yang baru. Jadi jika ada yang ingin membuat sesuatu yang mirip Facebook, Twitter, Google, atau sejenisnya akan sulit untuk sesukses mereka. The next big thing tidak mungkin search engine seperti Google, misalnya.

Selain membuat hal yang baru, buku ini juga menguraikan apa-apa kunci kesuksesan lainnya. Misalnya, kalau kita membuat sebuah produk (teknologi) yang mirip dengan yang sudah ada seperti sekarang maka dia harus minimal 10 kali lebih hebat dari yang sudah ada. (Istilahnya adalah “one fold better”.) Kalau hanya lebih bagus, 20% lebih bagus atau bahkan dua kali lipat lebih bagus, tidak cukup untuk menarik orang ke produk kita. Poin ini juga menarik.

Selain poin di atas, masih banyak poin-poin lain yang penting. Itulah sebabnya saya banyak berhenti membaca buku ini. Mencoba mencerna dahulu poin yang dimaksud. Apa saja poin-poin yang dibahas? Silahkan baca bukunya.

Pokoknya buku ini adalah bacaan wajib bagi yang ingin membuat Startup. Sangat direkomendasikan.

 

Hiber: Platform Sharing Pesawat

Lagi kepikiran untuk buat start-up berbagi (sharing) pesawat. Kalau sekarang Anda sudah menggunakan Uber untuk berbagi penggunaan mobil, maka Hiber merupakan platform yang sama tetapi untuk pesawat terbang. Anda bisa berbagi menggunakan pesawat terbang pribadi. Asyik kan?

Tertarik? Ayo ikut investasi …

Catatan: “hiber” dalam bahasa Sunda artinya “terbang”

Tunjukkan Kodemu!

Minggu lalu, tepatnya hari Rabu 11 Mei 2016, saya mengikuti peluncuran kompetisi “IBM Linux Challenge 2016” di Balai Kota Jakarta. Acara ini sebetulnya merupakan kelanjutan dari kompetisi yang pernah dilakukan tahun lalu. Jadi, ini yang kedua.

Intinya ini adalah kompetisi pembuatan software yang berbasis open source. Adapun fokus dari aplikasinya adalah hal-hal yang terkait dengan smart city dan finansial daerah. Untuk yang smart city, ada banyak aplikasi yang bisa dikembangkan. Aplikasi yang bagus (pemenangnya) akan diberi kesempatan ditampilkan / digunakan di Jakarta Smart City. Sementara aplikasi finansial daerah digunakan untuk meningkatkan transaksi UMKM melalui e-commerce.

26929749021_91fcc41d86_o

Bagi saya, ini adalah ajang untuk mencari bibit-bibit dan kelompok pengembang software yang keren-keren di Indonesia. Untuk menunjukkan bahwa Indonesia (dan orang Indonesia ) juga jagoan di dunia IT. Ayo … tunjukkan bahwa kita bisa!

Launching Insan Music Store

Hari Sabtu ini, 9 April 2016, Insan Music Store akan mengadakan acara launching di Bandung.

Tempat: Telkomsel Loopstation, Jl. Diponegoro 24, Bandung
Waktu: pukul 8:00 pagi s/d pukul 17:00

Launching ims spanduk

Pada acara ini, saya akan menjelaskan tentang apa itu “toko musik digital” dan dunia musik digital. Kita bisa lihat banyaknya toko musik konvensional (fisik) yang tutup. Demikian pula penjualan lagu yang jatuh. Bagaimana seharusnya para artis musik / musisi menyikapi hal ini? Pada awalnya tidak ada platform yang memudahkan bagi para artis musik Indonesia untuk mempromosikan dan menjual lagunya. Sekarang ada:

toko.insanmusic.com

Saya juga akan menjelaskan bagaimana proses pembelian lagu melalui Mandiri e-cash. Datang saja, nanti langsung dibuatkan akunnya dan langsung bisa membeli lagunya. Sudah pada punya akun di toko.insanmusic.com belum? Ayo buat. Gratis lho. Demikian pula buat (atau nanti kita buatkan akun Mandiri e-cash-nya).

Tentu saja acara akan diramaikan dengan band-band yang berada di Insan Music Store dan Roemah Creative Management.

Launching ims flyer

Ditunggu kedatangannya ya. Jreng!

Launching ims backdrop

Start-up Gagal

Hari Senin lalu (7 Maret 2016), saya memberikan presentasi mengenai pengalaman saya dalam membuat start-up. Pengalaman yang dimaksud di sini adalah kegagalan-kegagalan yang pernah saya alami. Tentu saja yang lebih penting adalah pelajaran apa saja yang dapat diperoleh dari kegagalan ini.

BR-startup-orly2

Materi presentasi dapat diunduh dari situs web saya (budi.rahardjo.id) di bagian articles. Laporan dari acara tersebut, beserta foto-foto detailnya, ada di blog procodecg. (Tepatnya pada artikel berikut.)

Selamat menikmati.

Panci Halal

Dalam sebuah sesi mentoring entrepreneurship ada yang bertanya kepada saya.

Tanya (T): Bagaimana pendapat bapak tentang sertifikasi halal?
Saya (S): Baik-baik saja. [he he he. habis mau saya jawab apa?]
T: Maksud saya, apakah saya perlu melakukan sertifikasi halal untuk produk saya?
S: Apa produk kamu?

[Saya sudah membayangkan berbagai jenis makanan, siomay, tahu, juice, kopi, atau sejenisnyalah.]

T: Sandal, pak
S: (bengong)
T: Bagaimana, pak?

Hmmm… tidak terbayang oleh saya kenapa produk sandal perlu disertifikasi halal. Apa ada yang mau makan sandal ya? Ah, mungkin supaya dapat diyakinkan bahwa sandalnya terbuat dari kulit babi? Terus kalau tidak disertifikasi halal itu artinya haram?

S: Kalau menurut Anda, panci perlu disertifikasi halal tidak?
T: (setelah berpikir sejenak) Tidak, pak.
S: Nah.

Bisa kebayang oleh saya kalau ada panci yang memiliki sertifikasi halal. Apakah artinya panci yang lain tidak halal? Terus panci yang tidak disertifikasi halal itu tidak boleh dipakai memasak?

Bagaimana menurut Anda? Perlukah sandal (atau panci) ini disertifikasi halal?

Banjir Pesan

Judulnya agak aneh. Tadinya saya mau menulis judulnya kebanjiran messages dari program Whatsapp, Telegram, dan sejenisnya, tetapi terlalu panjang ya. Ya sudah, banjir pesan saja.

Saat ini saya sudah mulai kewalahan dengan banyaknya pesan-pesan yang ada di SMS, Whatsapp, Telegram, Signal, dan seterusnya. Masalahnya, aplikasi-aplikasi ini tidak memiliki fitur untuk melakukan management datanya. Bayangkan, ada puluhan group di program-program tersebut. Ada group yang sangat aktif, lebih dari 100 pesan setiap harinya. Silahkan dihitung berapa jumlah pesan yang saya terima. Bagaimana mencari pesan yang dikirim seminggu yang lalu, misalnya. Pusing.

Yang saya heran, apakah orang-orang tidak mengalami masalah yang sama? Apakah tidak membutuhkan aplikasi yang mengelola pesan-pesan tersebut? Ini potensi untuk start-up.

Orang Hardware Bandung

Hari Senin lalu (tanggal 21 Desember 2015), secara spontan diadakan kumpul-kumpul orang-orang Bandung yang tertarik dengan hardware (perangkat keras). Kalau istilah yang keren sekarang adalah IoT (Internet of Things). Acara ini merupakan bagian dari Procodecg CodeMeetUp() yang biasa dilakukan setiap hari Senin siang.

Saya kumpulkan orang-orang hardware dari generasi lama (generasi saya) dan generasi baru. Tujuannya adalah agar saling mengenal dan melakukan mentoring atau transfer pengalaman dari yang tua ke yang muda. Contoh yang senior-senior antara lain Yana Raharja, Jeffrey Samosir, Ihsan Haryadi, Trio Adiono. Sampai saat ini mereka masih melakukan pengembangan produk hardware.

IMG_0021 hw

Dalam foto di atas, Yana sedang menjelaskan bagaimana memasarkan produk hardware. Jangan teknis, tetapi manfaat apa yang diperoleh dari produk tersebut.

Yang muda-muda lebih banyak lagi; Cybreed, Dycode, Labtek Indie, dan lain-lain. Mereka sudah dan baru memulai mengembangkan produk-produk. Ke depannya, merekalah yang mejadi ujung tombak pengembangan produk-produk hardware.

IMG_0019 hw

Dulu ada masanya saya merasa ilmu Elektro (Elektronika) akan mati. Maka perlu ditutup jurusan Teknik Elektro di berbagai universitas di dunia. Lebih banyak orang yang senang mengembangkan software, karena modalnya lebih murah. Tinggal pakai komputer. Kalau bereksperimen dengan hardware harus beli komponen. Kalau salah, ya harus beli komponen lagi. Adanya demam IoT membuat masa depan harware cerah kembali.

Pertemuan kali ini baru untuk saling mengenal. Akan ada pertemuan-pertemuan lagi. Siap-siap hadir ya.

Panduan Membuat Start-Up

Dalam start-up saat ini ada istilah MVP, minimum viable product, yang menyatakan sebuah produk siap untuk diluncurkan. Membuat buku ternyata juga sama.

Ada banyak draft buku yang saya buat. Sebagian besar sampai sekarang masih dalam status draft meskipun sudah bertahun-tahun. Alasannya adalah saya merasa buku-buku tersebut belum siap untuk diterbitkan.

Untuk kali ini, buku tentang Start-up, saya putuskan MVP-nya adalah yang sekarang. Selamat menikmati versi 0.8 ini.

Buku ini akan saya perbaharui secara berkala. Link dari buku yang terbaru akan saya pasang di sini.