Mediocrity

Menjelang akhir tahun saya mau ikut-ikutan berkontemplasi. Merenung sejenak. Entah apa yang dipikirkan sebetulnya. Ah ada. Sebetulnya ada satu topik yang ingin saya bahas (dan entah apa hubungannya dengan kontemplasi akhir tahun).

Mediocrity. Saya tidak tahu terjemahan yang pas dari istilah ini. Mungkin terjemahannya adalah “cukup puas dengan pas-pasan”?

Banyak orang yang terlalu puas dengan “karyanya” yang pas-pasan. Yang disebut “karya” di sini bisa berbentuk tugas sekolah (kuliah), tugas akhir / thesis / disertasi, pekerjaan, sampai ke karya yang memang ingin kita buat tanpa disuruh oleh orang lain. Terlalu puas yang saya maksudkan itu adalah mengerjakan seadanya saja. Tidak ada upaya untuk membuatnya menjadi luar biasa. Excellent.

Tadi saya ke kedai kopi. Dari segi nama, sudah bagus tetapi dari dekorasi di dalamnya sebetulnya bisa ditambahkan lagi dengan foto / lukisan yang sesuai dengan namanya. Sayangnya ini tidak. (Padahal makanannya juga lumayan oke juga.) Entah mungkin karena sudah merasa puas atau karena tidak ada budget-nya, maka kesan yang ada adalah secukupnya. Padahal kita ke kedai kopi bukan hanya mencari kopinya tetapi juga mencari suasana dan experience-nya.

Lawan dari hal ini adalah perfectionist. Sayangnya, perfectionist juga tidak bagus karena menunggu sempurna seringkali karya tidak dihasilkan. Tidak ada yang sempurna. Karya harus tetap jadi.

Janganlah melakukan sesuatu hanya pas-pasan saja. Buatlah karya yang luar biasa!

9 pemikiran pada “Mediocrity

  1. Ah, pas sekali pak, tahun 2011 ini saya benar-benar jadi mediocrity, tugas kuliah banyak saya kerjakan dengan seadanya 😦

    Saya setuju pak, saya akan berusaha karya yang luar biasa, muali dari sekarang 😀

    Semoga karya-karya yang luar biasa akan lebih bermanfaat 🙂

  2. bukan berarti tidak mampu tapi menurut saya memang telah diperhitungkan..kadang tugas sempurna vs tugas asal nilainya tidak jauh,ada kekecewaan mahasiswa

  3. Menarik memang, jangan melakukan sesuatu yang pas-pasan saja, dan kalau bisa buatlah karya yang luar biasa. Tapi memang terkadang tidak dapat dipungkiri seperti yang disampaikan oleh Doni, bahwa terkadang melakukan tugas untuk orang lain, seperti tugas untuk kampus, tidak akan mendapatkan apresiasi yang sesuai. Saya tetap setuju dengan konsep ini, setidaknya, kalau diterapkan untuk tugas-tugas atau target diri sendiri tentu yang mendapatkan kepuasan adalah diri kita sendiri, dan kepuasan karena telah melakukan sesuatu dengan luar biasa, adalah pengalaman yang dapat memperkuat rasa percaya diri kita.

  4. Nah ini dia. Apa tujuan kita membuat sebuah karya. Kalau memang tujuannya untuk mencari nilai (dari dosen), ya akan timbul kekecewaan. Tetapi kalau untuk diri sendiri, akan beda. (Lagi pula, dosen tahu apa? he he he.) Tujuannya bukan untuk membuat karya yang bagus, tetapi untuk mendapat nilai yang bagus. Akan beda. (Karya yang bagus belum tentu mendapat nilai yang bagus dari dosen.)

    Ambil contoh ya. Ketika Steve Jobs kecil dia diajari oleh bapaknya, Paul Jobs untuk mengecat bagian belakang dari pagar dengan rapi meskipun tidak ada yang melihat bagian itu. Kalau kita, mungkin kita cuek saja. Yang penting adalah ngecat bagian yang di depan saja. Yang di belakang, tidak usah saja, bukan?

  5. Jadi ingat dulu saya pernah ngobrol tentang perfeksionis dengan teman saya… Kata dia perfeksionis berbeda dengan excellence. Perfeksionis itu melakukan untuk memenuhi hasrat diri sendiri, kalau excellence kita melakukan yang terbaik sebagai ibadah kita. Hehe…

  6. membaca tulisan ini, saya jadi tersadar dengan diri saya sendiri.. Selama ini saya terlalu cepat puas dengan karya yang medioker dan belum excellent.. Trims pak atas tulisan yang mencerahkan

Tinggalkan komentar