Etika Ngeblog Bagi Profesional

Saya mendapat pertanyaan dari beberapa orang profesional, yaitu orang yang bekerja di perusahaan atau institusi yang bergengsi. (Definisi bergengsi kita abaikan dulu lah. Pokoknya mereka profesional.)

Adakah rambu-rambu atau etika bagi para profesional itu jika mereka nge-blog atau ikut di social network (seperti facebook)?

Masalahnya, meskipun mereka menuliskan opininya dalam kapasitas sebagai pribadi, akan tetapi nama institusi juga ikut terseret. Mereka ingin mengeluarkan opini sebagai pribadi, tetapi kadang ini sulit. Akibatnya mereka menjadi ragu-ragu. Demikian pula institusi tempat mereka bernaung juga kebingungan dalam menentukan kebijakan.

Apakah cukup jika mereka menuliskan (di bagian mana? kalau di email ada di bagian footer) bahwa opini yang mereka sampaikan bukan merupakan opini institusi atau perusahaan di mana mereka bekerja?

Ada saran, pengalaman, hints, pointers, komentar?

32 pemikiran pada “Etika Ngeblog Bagi Profesional

  1. Semestinya itu cukup, seperti juga di banyak email orang2 yang ikut milis menggunakan email official perusahaannya. Beberapa email tersebut ada yang menyertakan disclaimer kalau apa yang ditulis orang tersebut tidak mencerminkan opini perusahaan (kecuali di nyatakan berbeda).

  2. itu memang jadi kendala, image perusahaan jadi taruhan, tapi memang kendala terbesar saat ini adalah keranjingan FACEBOOK. Semoga saya tidak termasuk karena saya jarang sekali membuka facebook ataupun berlama dengan facebook. Hal ini karena facebook berhasil mempertemukan orang-orang telah “hilang” dari peredaran dan bersua kembali di facebook. Romantisme seperti ini memang susah untuk tidak diikuti, kalo terus menyangkut citra perusahaan, saya kira banya yang menganggap itu tidak akan berpengaruh. sebenare saya bingung juga, karena saya bukan seorang profesional..hehehehe

  3. aku setuju dengan pendapat pak KK [menristek] bahwa kita tidak bisa muncul dengan dengan dua baju

    saat tertentu pakai baju pejabat dan saat lain pakai pendapat pribadi

    [meskipun bisa tapi akan sangat sulit dilakukan]

    usulan membuat dua account memang merupakan salah satu solusi dan itu yang kulakukan juga agar aku bisa membedakan antara menjadi pekerja dan menjadi diri sendiri

    selebihnya
    perlu usaha yang ekstra kuat agar bisa berdiri di dua sisi yang kadang berbeda

    salam

  4. Jika hal itu menyangkut opini, tentunya disclaimer itu sudah cukup pak. Mengenai caranya, bisa dipasang di manapun (di akhir tulisan mungkin, atau di bagian profile jika ini yang dimaksud adalah note di facebook, dlsb). Itu pendapat saya.

    Tapi terlepas dari ini, yang saya justru merasa terganggu adalah “kebiasaan” baru dari para penerima kerja. Maaf ini OOT, tapi tulisan ini mengingatkan saya. Ada anak yang dipasang fotonya di facebook, karena dia melamar kerja di sebuah institusi, dan kemudian diikuti dengan comment yang mempertanyakan “apakah anak ini layak masuk ke institusi kita?”.

    Padahal anak itu tidak menampilkan foto yang vulgar, hanya saja memang terlihat narsis. Nah, yang seperti ini tampaknya efek panjang dari dualisme pola pikir, atau may I say :sesat pikir.

    Bagaimana tentang hal ini menurut bapak? Oh iya, saya tidak tahu apakah foto yang saya maksud itu diambil dari profile facebook seseorang tersebut atau tidak, tapi intinya kenapa jaring sosial justru menghajar kisi-kisi privasi seseorang? Wadu malah merembet kemana-mana 😀

  5. kalau menurut pendapat saya, seseorang itu bertanggungjawab atas opini pribadinya kecuali jika disebut khusus (mewakili apapun/siapapun)… selama tidak disebutkan bahwa dia mewakili, maka tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari orang tersebut dapat digunakan untuk menentukan bahwa itulah sikap yang diwakili…

    misalnya saya wakil direktur perusahaan… lalu saya berpendapat A… selama tidak ada kata “mewakili perusahaan” maka opini saya tidak dapat digunakan untuk menjatuhkan perusahaan… karena sikap perusahaan bisa jadi berbeda 180 derajat…

    tapi yang pasti jangan pernah memberikan opini negatif atau menyerang… karena opini itu menunjukkan kualitas Anda dan kualitas perusahaan yang mempekerjakan Anda…

    :mrgreen:

  6. sangat sulit memisahkan antara posisi mereka saat menjadi profesional dan “tidak profesional” (nah lo!). apapun yang mereka lakukan, ngeblog maupun networking, pasti akan dikaitkan dengan lembaga, wadah, tempat, gedung, perusahaan, profesi, dll, tempat mereka “mengenakan dasi”.

    pisah akun hanya buat justifikasi bahwa apa yang mereka katakan atau ungkapkan saat “tidak menjadi profesional” bila suatu saat ternyata salah atau menimbulkan masalah merupakan opini yg tidak usah diperhitungkan…wong lagi tidak profesional 🙂

    tetap menjadi diri sendiri…dan tetap profesional! ngeblog n networking adalah hak…yang penting tetap menjaga kewajiban!..dan tentu saja etika 🙂

  7. Hmmm…
    Menurut saya sih asal kita masih bisa menjaga etika dan memaknai kebebasan dalam blogging saya kira professionalisme akan aman-aman aja. Toh kalau kita menulis yang “benar” kenapa harus merasa khawatir?

    Mungkin membuat Disclaimer yang mudah dibaca akan lebih membantu daripada menjadi pemain “sinetron” dengan membuat akun yang berbeda (mungkin loh)

    nice topic Pak Budi.
    Regards

  8. kalau di blog itu dunia masing-masing. Biasanya dalam kontrak kerja tercantum pasal-pasal mengenai larangan memberi informasi yang mungkin akan merugikan perusahaan selama dan atau setelah memegang status karyawan.

    cara paling gampangnya kalau tidak bisa pakai 2 baju sekaligus, ya buat badan satu lagi yang pakai baju yang beda.. 😀

  9. Saya menerapkan kebijakan: karyawan tidak boleh menuliskan hal-hal yang sedang dikerjakan perusahaan. Pertimbangannya, karena ini bisa membahayakan perusahaan di sisi persaingan.
    Hal ini saya hadapi ketika melihat blog karyawan menampilkan tulisan itu. Setelah saya timbang-timbang, saya minta tulisan itu untuk dihapus.
    Memang, tadinya saya juga ragu-ragu tentang kebijakan yang tepat. Tapi akhirnya itu yang saya anggap paling mungkin.

  10. Tak bisa dipungkiri, bahwa blog merupakan opini pribadi. Tapi jika kita masih menjabat, dan nama di blog terbuka, orang tetap akan mengasosiasikan kaitan dengan perusahaan, walau itu nggak tepat.

    Saya bebas menulis di blog karena sudah pensiun. Jika masih aktif, selain sulit waktunya, mungkin tulisanku juga akan berbeda. Saya mengenal beberapa teman (yang memang seorang penulis serius, punya jabatan puncak di perusahaan BUMN), sampai sekarang masih ragu2 untuk mulai ngeblog.

    Awal ngeblog pun, sms dan komentar teman berdatangan…”Kamu nggak ada kerjaan ya, kok ngeblog?” Akhirnya saya mencoba menulis yang lebih ke arah sharing ilmu, baru deh mereka menghargai. Tapi kadang kan kita pengin juga menulis yang ringan dan santai.

    Jadi, pertanyaan bapak pada tulisan di atas, saya juga tak tahu jawabannya. Sama seperti pakar etiket, kalau jadi “seseorang” tetap harus jaga image diluaran, karena kawatir disangkutkan dengan jabatannya. Tapi saya tetap tak peduli, kalau week end, ya pake jeans dan T shirt….

  11. yang penting didalam blog itu sendiri tidak memunculkan institusi kita….menurut saya itu udah cukup menunjukkan kita nge-blog tanpa bawa embel-embel dimana kita kerja

  12. Kalo saya pribadi, saat menulis blog, menghindari yang berbau SARA , politik (karena memang kurang tertarik saja), dan negatif (kalo emosi sedang tidak stabil, mending saya off dari dunia maya).

    Saya menulis blog juga bukan karena kurang kerjaan, tapi drama-drama di dalam pikiran kurang tersalurkan ke dalam pekerjaan. Jadi pipa penyalurnya melalui blog. Itu pun saya lakukan sebelum atau sesudah ngantor (seperti sekarang ini).

    Branding memang penting. Oleh karena itu, harus dijaga sebaik-baiknya. Karena – meskipun saya sama sekali tidak ada tujuan kesana – masih ada saja orang yang mengaitkan profil saya melalui tulisan di blog maupun facebook dengan perusahaan tempat saya bekerja.

  13. buat saya simple saja, sebagai professional yang kerjaannya banyak hubungan dengan data data non disclosure-able dari client, sebaiknya tidak usah membuat blog yg ada hubungannya dengan pekerjaannya.
    Jadi misalkan kerjaannya IT consultant soal security misalkan, ya blog soal human interest, hobby, jalan jalan dsb.

    Sangatlah impossible untuk melakukan total exclusion kalo blog soal kerjaan. Karena orang lain yang tahu sebagian informasi dari blog kita, ditambah sebagian informasi dari sumber lain, bisa menyimpulkan 2+2=4 sendiri.

    cara lain adalah pakai anonymous user. Tapi yg begini jadi dipertanyakan, apa gunanya nge-blog kalo eksistensi diri saja di-nihil-kan dengan pakai anonymous user?

  14. Bagi ilmu adalah ibadah, jadi kalau memang hobi menulis, tulis saja dlm kerangka keilmuannya.

    Saya berfikir blog lebih baik dibanding sns lain macam fb, fs karena blog lebih global sehingga cakupannya lebih luas, sehingga penulis diharapkan lebih berhati2 dalam menulis dan memberi komentar.

    Menguitp sabda Rasulullah SAW: Di antara ciri sempurnanya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.

    Jadi menulis yg tidak didasari tujuan mulia sebaiknya dihindari. Menulis santai di lain waktu tentang topik lain di luar disiplin ilmunya boleh2 saja selama tetap menjaga hak-hak diri, keluarga, kawan, perusahaan, dan publik.

  15. Betul pak De,
    kadang sulit hal seperti ini…..
    mau berpendapat pribadi…, kadang sejalan atau betentangan dengan tempat kita berinstitusi….

    namun itulah opini…..
    asal santun dan sopan dalam kaidah umum….

  16. Hemmm… Kira kira gimana ya… Menurut saya ngeBLOG adalah proses untuk saling berbagi ilmu (yah walaupun dalam berbagi itu kita juga mengharap sesuatu)… Kapan lagi kalau nggak sekarang…?

  17. kalo saya sih, selalu saya bilang di footer email saya, kalo saya punya blogs pribadi…

    dan, di blogs itu sendiri, saya ga nulis yang berkaitan dengan pekerjaan di kantor.. 😀

    kecuali, kalo kejadiannya berkaitan dengan orang2 kantor

  18. makanya saia memilih menjadi seorang “alien” untuk nge-blog 😛

    opini hanya dalam lingkup “dunia ciptaan saia” seorang :mrgreen:

  19. Menurut saya, yang penting seimbang pak. jadi walaupun membawa nama perusahaan tapi bukan berarti harus nulis yang bagus2 aja kan? kan ada perusahaan yang memanfaatkan blog untuk menjaring aspirasi karyawannya.

    Mungkin perlu dibuat SOP dari perusahaan utk karyawannya dalam melakukan aktivitas di dunia maya, karena selain orang baik internet juga dihuni oleh org2 jahat juga..

    salam hormat

  20. Seandainya ragu karena sekiranya akan mengganggu image, keamanan posisi di tempat kerja, bisa dijadikan ajang menjungkalkan oleh pihak-pihak usil, mending ngga usah nge-blog dulu ya.

    Facebook juga seperlunya saja, tidak perlu narsis2 amat. Yang penting terjalin komunikasi dengan teman lama, cukuplah.

    Mungkin itu jalan tengah bagi yang masih ragu untuk memulai blog.

  21. ya kalau gak mau terseret, pakai inisial aja khan.
    saya pernah kesandung, waktu ngajar tik, latihan bikin milsit pakai nama kelas dan sekolah, setelah off, lupa aku ganti namanya kemudian karena mengkritik disitu aku disidang, nah akhirnya milis kuganti yang pribadi.

    semua pertanyaan tentang institusi langsung kusuruh datang sendiri atau telpon yang berwenang.

    makanya kita bikin milist yang memang untuk menyalurkan uneg-uneg itu, tidak suka? Ya jangan di baca apalagi di cetak. (salahe dewe, heheheh)

  22. wah, susah juga memang memisahkan hal yang demikian, pak. tak usah di blog atau sosial networking di dunia maya, pak. di dunia nyata saja terkadang susah.

    v(^_^)

    yah, jadi keinget pelajaran bahasa indonesia waktu smp tentang majas pars pro toto dan totem pro parte. hwehe…

  23. Memang sulit. Misalkan dalam ngeblog ngga pernah nulis masalah dalam kerjaan/profesi sama sekali, tetap ada masalah. Mungkin saja ada pikiran “.. yah engineer xxxx kok katrok banget”. Hahahahaha.

  24. yaah semua itu kembali kepada kita masing2.. apalagi mereka yang udah dikatakan “professional” pasti udah tau donk “net etique”

  25. Profesional? sebenarnya belum ada definisi untuk istilah ini, sehingga silahkan menafsirkan menurut pendapat sendiri.

    Mengungkapkan pendapat di dunia maya ni, sebenarnya sama halnya dengan menulis di koran, semua pihak dapat menilai.

    Jikapun apa yang kita uraikan, jelaskan pada tulisan maka dengan sendirinya bukanlah suatu pendapat yg benar2 pribadi namun dipengaruhi oleh faktor bawaan (baca : kedudukannya).

    Silahkan saja misal seorang Hakim berbicara mengenai kasusnya yg telah selesai dan dia tidak sependapat dengan putusan majelis hakim atau bahkan menguraikan dengan tulisan yang emosional, nah tentu saja anggota majelis lainnya (yang telah membaca) akan merasa di rugikan.

    So, silahkan menulis namun berhati-hati…

Tinggalkan komentar