Menggadaikan Perguruan Tinggi

Dulu saya tidak mengerti mengapa ada orang yang rela pindah agama karena uang. Mereka rela pindah agama kepada pihak yang dapat memecahkan masalah finansial mereka. Setidaknya itu yang ada dalam benak mereka. Sekarang saya mulai dapat mengerti setelah melihat kekisruhan yang terjadi di perguruan tinggi di Indonesia.

Baru-baru ini keluar Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2012 yang menetapkan status ITB dan UPI sebagai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah (PTP). (Perhatikan kata “Pemerintah” bukan “Negara”.) Status sebelumnya adalah BHMN. Saya mencoba bertanya kepada beberapa pihak mengenai alasan utama penetapan ini. Jawaban yang saya peroleh tidak terlalu jelas, namun tidak ada yang menjawab bahwa perubahan ini karena alasan yang terkait dengan pendidikan. Jawaban yang saya peroleh atas perubahaan ini adalah disebabkan oleh aspek (1) administratif, (2) finansial, dan (3) kendali.

Apa yang dikorbankan dalam perubahan status ini? Yang dikorbankan adalah otonomi pendidikan. Sekarang ITB dan UPI menjadi bawahan (underbow) Pemerintah. Perguruan tinggi menjadi semacam jawatan yang bertanggungjawab kepada atasannya. Mungkin ITB harus bertanggungjawab ke Kanwil Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan?

Untuk menentukan sesuatu, PTP harus minta ijin kepada atasan. Bahkan sampai kepada penerimaan mahasiswa barupun perguruan tinggi tidak memiliki otonomi. (Lihat Peraturan Menteri tentang pola penerimaan mahasiswa.) Padahal perguruan tinggi sendirilah yang lebih mengerti kebutuhan mereka, bukan dari pusat. (Dan tidak semua perguruan tinggi itu sama. Jangan disamaratakan semua.) Terbayang oleh saya apabila perguruan tinggi membutuhkan pengembangan sebuah ilmu tertentu, kemudian berencana untuk membuat sebuah fakultas baru, ternyata tidak dapat dilakukan karena tidak mendapat ijin dari atasan (pemerintah). Alasan yang diberikan adalah alasan administratif (bukan substansi pendidikan), tidak ada dana tambahan untuk menggaji dekan, misalnya. Tidak ada kebebasan akademik.

(Mau contoh lain, kewajiban publikasi ilmiah (jurnal?) bagi lulusan S1.)

Masalah finansial merupakan sesuatu yang ditakutkan oleh pimpinan perguruan tinggi.  Pemerintah membujuk perguruan tinggi untuk mengorbankan kebebasannya demi jaminan finansial dari Pemerintah.  Pihak perguruan tinggi merasa jalan terbaik untuk memecahkan masalah finansial adalah menggantungkan diri sepenuhnya kepada Pemerintah. Bagaimana mungkin kebebasan akademika ditukar dengan uang? Ini tak ada bedanya dengan pindah agama (faith, believe) agar masalah finansial terpecahkan. Sekarang saya dapat memahami (meskipun tidak menyetuji) mengapa ada orang yang pindah agama karena masalah finansial.

Masalah finansial di perguruan tinggi bukan monopoli ITB, UPI, atau perguruan tinggi lain di Indonesia. Kesulitan dan keterbatasan finansial di perguruan tinggi adalah masalah bagi perguruan tinggi di seluruh dunia dari dulu sampai sekarang. Baru-baru ini Harvard mengumumkan kepada civitasnya bahwa perpustakaan mereka kesulitan dana untuk berlangganan berbagai jurnal. Para civitas disarankan untuk lebih banyak menggunakan jurnal yang open access. Ini Harvard lho. Masalah kesulitan finansial juga dulu sempat menghantui Stanford University. Pada waktu itu mereka tidak sanggup menggaji dosen-dosennya. Akhirnya mereka putuskan untuk menyewakan sebagian lahan mereka untuk perusahaan teknologi, itulah awal dari technopark. Ada banyak lagi yang seperti ini, perguruan tinggi kesulitan finansial. Namun ini tidak menjadi alasan untuk mengorbankan kemandirian perguruan tinggi.

Saya berharap ada pencerahan-pencerahan bagi banyak pihak (bright minds in campuses, noble and visionary leaders in government, and concerned citizens) untuk mengembalikan kebebasan akademik ini. Kembalikan perguruan tinggi kepada khitahnya.

Link terkait:

23 pemikiran pada “Menggadaikan Perguruan Tinggi

  1. Sudah waktunya seluruh civitas academica perguruan tinggi Indonesia melakukan pembenahan-pembenahan, mas Budi. Melakukan koreksi total atas penyimpangan-penyimpangan yg ada. Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan manusia dari kebodohan dan pembodohan.

    Kembali menjadi institusi ilmiah yg independent, yg memegang teguh nilai-nilai universal kemanusiaan. Bagaimanapun juga, secara natural, yg namanya sekolah / institusi pendidikan adalah cost center untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh masyarakat Indonesia (tanpa mebedakan kaya dan miskin).

    Kenapa harus dipaksakan untuk menjadi suatu organisasi profit center?

    Tragedi Pendidikan Nasional Indonesia
    http://gerahan.itb90.com/2012/04/tragedi-pendidikan-nasional/

  2. Sangat miris sekali, artinya kita siap-siap kembali ke zaman orba di mana kampus disupir oleh rezim penguasa.

  3. Wah kang… Menyamakan keimanan dengan status itb mah bisa kita mengagamakan status itb yg diinginkan akang…na’uzubillah

  4. mas Wed, tidak penting apa yang saya mau (yang mana juga modelnya belum ada di indonesia – he3, jadi saya gak terlalu berharap lah). Yang lebih penting adalah kepentingan independensi institusi pendidikan.

  5. Tahniah bagi yang dapat menjalankan indepedensi dalam berpikir dan berbuat, lalu menjalin interdependensi untuk menuju harmonisasi antarentitas yang secara inheren memang “bebas”

  6. mendukung kemandiran universitas .,,. biar bagaimanapun juga, harus ada cara untuk “kembali” menegakkan kemandiran perguruan tinggi …

  7. Kemandirian perguruan tinggi harus dibayar dengan kemandirian mencari dana. Pada banyak perguruan tinggi, mau tidak mau, dana didapat dari mahasiswa. Hasilnya uang kuliah meningkat atau uang pendaftaran jadi besar.

  8. Pak BR, CMIIW, sebenarnya BHMN itu sudah Ok namun karena pasal ttg badan hukum pendidikan ini dibatalkan oleh MK (dimana pembatalan itu juga diajukan oleh sebagian “kalangan pendidikan) jadinya ya malah seperti ini.

    Sebenarnya kan BHMN itu konsep otonomi PT (S/N) namun ada sebagian yang mengartikan itu semata-mata: “boleh menaikkan SPP semau2nya” sepertinya inilah yang kemudian justru menjadi bumerang akan konsep BHMN itu sendiri.

  9. menurut saya menyediakan pendidikan tinggi adalah kewajiban negara jadi wajar jika negara membiayai operasional perguruan tinggi. masalah independensi ini saya lihat ada dua sisi yang seharusnya dipisahkan yaitu

    idependensi riset/proses pendidikan
    independensi pendanaan

    jika kita bicarakan independensi riset atau proses pendidikan maka idealnya harus independen penuh dan pemerintah tidak ada hak intervensi, pemerintah saya rasa harus menganggarkan 2 pos dana satu untuk riset kebutuhan nasional(seperti industri berat, militer, dan industri strategis lainya) satu lagi untuk kreativitas perguruan tinggi masing-masing

    untuk independensi pendanaan saya rasa untuk sekarang sebaiknya jangan dulu karena jika perguruan tinggi berniat independen secara pendanaan maka proses pendidikan tinggi itu sendiri dapat menjadi lahan bisnis, buntutnya akan membebani mahasiswa yang kuliah(bisa dilihat biaya pendaftaran ITB itu terbilang tinggi dibanding perguruan tinggi lain). meski mahasiswa bisa mencari beasiswa hal seperti ini tetap tidak boleh terjadi karena sekali lagi menurut saya penyediaan pendidikan tinggi adalah kewajiban negara terlepas dari kemampuan finansial maupun kemampuan intelektual mahasiswa

  10. Kalau anggaran pendidikan 20%, malah seharusnya pendidikan tinggi juga gratis. Pendanaan diluar subsidi pemerintah, memang seharusnya PT diberi kemandirian utk mencari dan mengelolanya. yang penting PT tidak boleh menetapkan SPP semaunya sendiri di luar batas kemampuan masyarakat sehingga tidak perlu saling curiga mencurigai.

  11. Macam kerbau di cocok hidungnya saja kedepannya nasib perguruan tinggi negeri kita ini….. semoga terang benderang kedepannya dan terbentuk lingkungan akademisi yang gak luntur alias akademisi idealis yang realistis…

  12. Kata Akhmaloka perubahan itu merupakan masa transisi sambil menunggu hasil Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang masih belum disahkan.

  13. Pak Budi, masalah utamanya bukannya ada pada kelompok orang yang memimpin PTN (ITB) itu sendiri? yang dalam bahasa jelas, bagian dari kelompok civitas Bapak sendiri?. Ketika kemarin diberi otonomi mereka “memperdagangkan PTN”, sekarang mereka “menggadaikan PTN”. Lucunya sebutan “dagangan” dan “gadai” itu juga dari Bapak-Bapak sendiri. Pertanyaanya, siapa yang memilih pemimpin PTN? ya, civitas mereka juga. Jadi, sesungguhnya jeleknya pemimpin PTN (baca ITB), adalah (bisa jadi merupakan) gambaran seperti apa kualitas civitas ITB sekarang. Mohon maaf, tetapi bukannya seperti itu yang terjadi.

    Maka yang perlu di perjuangkan sekarang adalah terjadinya sistem pemilihan pimpinan PTN yang memberi kesempatan calon terbaik bisa muncul. Sehingga orang-orang seperti Pak Budi bisa tampil. Bukan untuk ambisi, tetapi demi pendidikan itu sendiri.

  14. Pimpinan PTN tidak dipilih oleh civitasnya sendiri tetapi dipilih oleh pemerintah. Sebagai sebuah organ bawahan pemerintah, ya jelas yang milih adalah atasannya (dalam hal ini pemerintah). Bukankah begitu?

Tinggalkan komentar