Mencari Talenta

Sebuah pesan masuk ke ponsel saya:

Pak Budi, apakah punya orang yang dapat mendesain rangkaian dengan menggunakan FPGA untuk sebuah proyek. Selain itu butuh orang juga untuk membuat firmware-nya.

Selang berapa lama, ada pesan lain lagi:

Pak, saya butuh orang yang bisa python untuk mengakses data dari database (SQL) kemudian mem-push ke sebuah sistem lainnya.

Pesan-pesan semacam ini sering hadir di ponsel saya. Mungkin karena saya mengajar di ITB sehingga dipikirnya dekat dengan sumber daya manusia yang handal. Kenyataannya adalah susah untuk mendapatkan SDM, talenta, yang dibutuhkan tersebut.

Lulusan S1 dari perguruan tinggi sekarang entah pada lari kemana. Dugaan saya, sebagian melanjutkan pendidikan ke S2. Sebagian lagi bercita-cita menjadi manager. Maka tawaran pekerjaan seperti yang ditampilkan di atas sulit untuk dipenuhi. Bukan hanya ITB saja yang tidak dapat memenuhi itu, perguruan tinggi lainnya, bahkan politeknik dan SMK-pun sulit menghasilkan talenta yang dimaksudkan.

Pendidikan yang ada memang tidak mampu menghasilkan talenta yang siap digunakan. Waktu yang singat dan pelajaran yang mungkin dipaksakan (dijejalkan) kepada siswa tersebut membuat lulusannya hanya memahami kulit-kulit pelajaran saja. (Maha)siswa pun jarang yang mau belajar sendiri di luar apa yang sudah diajarkan di kelas. Mereka sudah puas jika lulus dari mata kuliah/pelajaran tersebut.

Maka, pencarian talenta masih berlanjut.

Oh ya, tawaran yang pertama, yang FPGA itu, masih terbuka.

12 pemikiran pada “Mencari Talenta

  1. Sebagai startup entrepreneur, memang talenta adalah masalah utama di Indonesia pak. Alasannya sangat simpel :

    -Universitas dan jurusan teknik yang bagus sangat kurang di Indonesia.

    -Mereka yang sangat technically talented dan pingin jadi engineer profesional, pada kuliah dan akhirnya bekerja di luar negeri. Atau menjadi independent contractor, dengan project-project dari luar negeri.

    -Mereka yang stay di Indonesia adalah mereka yang aspirasi karirnya ke managerial atau entrepreneurial.

    Solusinya adalah

    1. Memberikan remunerasi dan fasilitas yang sangat baik kepada engineer lokal yang talented.

    2. Bagi universitas/company : Memberikan pelatihan-pelatihan jangka pendek yang inovatif, aplikatif dan up-to-date kepada aspiring engineer,

    … universitas/company harus berani membayar/mensubsidi praktisi industri yang bekerja di luar negeri/dalam negeri untuk mengadakan pelatihan.

    3. (ini yang sulit) Membentuk pengertian di masyarakat adalah engineer adalah posisi yang bergengsi, financially very prospective dan bukan sekedar batu loncatan ke managerial atau entry level position.

  2. kalau yang python masih buka nggak pak?

    saya mahasiswa S1 Ilkom IPB yang lagi punya waktu luang. Sepertinya seru kalau dapet tantangan dari pak Budi, hhe..

    email: anas@jurnalanas.com
    linkedin: linkedin.com/in/jurnalanas

  3. Ya, sudah seharusnya yang baru lulus alias fresh graduate harus lebih aktif, atau kebanyakan malah lanjut kuliah lagi seperti yang Bapak utarakan.

  4. bagi yang baru … kebijakan saya (dari belasan tahun yang lalu) masih sama, tidak komentar 🙂 biar kawan-kawan yang komentar saja. kalau jenisnya yang minta disuapin, ya lain cerita.

  5. Gimana mau merespon pak, spek projek dan skop pekerjaan saja tidak ada, kl gak memenuhi syarat kan hanya menuh2in inbox dan buang waktu baik yg kirim dan yg baca.

  6. mungkin karena anak muda jaman sekarang banyak yg lebih suka jadi entrepreneur pak 🙂

  7. Kesulitan perusahaan dalam mencari talent itu dimanfaatkan oleh para head hunter dan perusahaan outsourcing/consulting.

    Tapi emang sih hardware engineer emang lagi dicari di seluruh dunia.

Tinggalkan komentar