Samaun Samadikun – Petani Silicon Indonesia

Kemarin, sebuah buku mampir di kantor saya di Pusat Mikroelektronika ITB. Ini adalah buku yang saya nanti-nanti, yaitu buku tentang alm. Prof. Samaun Samadikun, guru saya.

Saya belum sempat membaca bukunya, tetapi mata saya berkaca-kaca ketika memegang buku itu. Timbul rasa respect terhadap seorang guru.

Bagi Anda yang mengenal pak Samaun, tentu tahu yang saya maksud. Sulit bagi saya menjelaskan dengan kata-kata. Bagi saya beliau adalah guru yang bisa dijadikan panutan. Gurunya guru. Teacher’s teacher. Mahaguru. Sedikit banyak, cara yang saya lakukan sebetulnya juga terpengaruh dengan gaya beliau.

Sifat-sifat yang saya coba pelajari adalah humble, sederhana, terbuka, sopan, konsisten. Bayangkan, seorang profesor (dan pimpinan dari berbagai institusi, lulusan Stanford University, punya patent di Amerika, lengkaplah sudah sebagai seorang peneliti) yang sudah melanglang-buana mau mendengarkan pendapat dari seorang nobody seperti saya (pada waktu itu). Kami bisa berdebat panjang lebar dengan intelektualitas yang tinggi. ]

Setelah mengenal lebih jauh, bahkan kami-kami yang muda-muda ini berani mengganggu beliau. Kadang mengganggunya agak kurang ajar juga. ha ha ha. Tapi ternyata tidak banyak yang berani melakukan itu sih. hi hi hi.

Sepintas dari bagian buku itu terbaca juga cerita ketika civitas akademika ITB berdemo di tahun 1966. Di situ diceritakan bagaimana Prof. Mustopo (salah seorang tokoh juga, yang kebetulan juga jiwa nasionalismenya mempengaruhi kehidupan saya di masa SD karena saya sekolah di SD Moestopo) berdiskusi dengan pak Samaun. Saya kutipkan tulisan dari Prof. Dr. Bambang Hidayat (Ketua Akdemi Ilmu Pengetahuan Indonesia):

Beliau berkata bahwa dalam menyampaikan pendapat apapun kepada dan untuk Presiden Republik Indonesia, Soekarno, tetap harus diperhatikan martabat intelektual – kandungan ilmiahnya jangan dicampakkan meniru koran kuning yang waktu itu mulai banyak beredar untuk menyerang pribadi perseorangan dengan lagu kebencian yang paling elementer.

Ya, itulah pak Samaun. Apapun kondisinya, tetap intelek! Dahulu saya pikir sikap ini muncul karena beliau lebih tua dari saya, sehingga lebih sabar, tetapi ternyata memang itulah karakter pak Samaun.

I know you’re still watching from up there …

Untuk rekan-rekan yang dulu pernah ingin pesan buku ini, saya juga hanya memiliki satu buah. Di bagian depan ada informasi ini

Diterbitkan oleh
LIPI Press, anggota Ikapi
Jl. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350
Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Fax. (021) 314 4591
Email: bmrlipi@centrin.net.id, lipipress@centrin.net.id, press@lipi.go.id

22 pemikiran pada “Samaun Samadikun – Petani Silicon Indonesia

  1. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, konon diantara pada dosen (senior juga, kalo bukan senior gak bakalan berani) ada candaan bahwa Pak Samaun itu ke mana-mana selalu bertiga, SamaUn SamaDikun …

  2. main musik? wah saya gak tahu karena belum pernah main musik dengan pak samaun. yang saya tahu adalah, ada keyboard (organ?) rusak, diperbaiki beliau. kapasitornya yang rusak katanya. halah? saya aja nggak sehebat itu.

  3. Guru atau mahaguru yang paling sukses, adalah jika anak didiknya mampu lebih berprestasi dibanding dirinya…….., bukan begitu Pak?
    Soal buku…., dari covernya menurut saya (..mohon maaf sbelumnya) kurang greget dibanding nama besar beliau…., tapi yg jelas buku ini layak untuk jadi koleksi!

  4. Baru baca dari tempointeraktif(dot)com.


    Samaun juga unik. Selain mahir main bola sodok hingga memiliki mejanya sendiri di rumahnya di Bandung, ia juga bisa menikmati bangsa burung tanpa harus memeliharanya. Samaun menyalurkan kecintaannya dengan mencipta sensor sinar matahari yang bisa mengeluarkan kicauan mirip burung Kenari. Sensor ditanam di rumah-rumahan kayu serta menyediakan makanan dan air minum. Tidak jarang burung-burung liar mendekati dan akhirnya mampir di dalamnya sekadar ngaso. ”

    Wahahhaha, emang cool dah si Bapak ini, kayak McGyver ajah,

    ABG-ABG sekarang harusnya menjadikan dia idola Orgin Indonesia.

  5. Ada orang yang kangen dgn Pak Samaun, karena dulu pernah sama-sama “terdampar” di AS. Namanya, Dr Prastowo Nambar. Kini bermukim di Madison, WI, sejak keluar dari ITB tahun 1974.

  6. Keknya, Pak Budi generasinya Pak Samaun… Ayo pak…didik kami….
    Terima kasih…Salam kenal…

  7. Untuk orang sekelas Pak Samaun, membaca namanya saja sudah bikin trenyuh. Mestinya lebih banyak lagi orang-rang semacam ini di Indonesia. Biar segera bisa mensejahterakan rakyatnya.

  8. Hehehehe…

    Selain intelektualitas beliau, saya sangat sangat terkesan dengan kerendahan hati beliau..

    Bisa-bisanya, ketemu mahasiswa, beliau yang minggir, ngasih jalan.. Ketemu di lift, dipersilakan masuk duluan, juga ga mau.. Bahkan mau lewat pintu di PAU aja, beliau maksa berhenti jalan sambil nunggu yang lain lewat duluan..

    Abis itu, kalo di lorong ketemu Pak Samaun, mending balik badan, ngacir secepatnya.. Ga jadi lewat aja lah, daripada mesti maksa Pak Samaun minggir..

    Tp dulu pernah sekali, Pak Samaun bilang, “Ingat yah, saya bukan alumni ITB, tapi saya alumni Standford..”, sambil mengedipkan mata.. hahaha.. Bisa lucu juga ‘mastah’nya elektronika indonesia ini..

  9. Saya dari pekanbaru, di kota saya bukunya blum masuk, kbtulan saya lagi berlibur di jkt, dan dapat buku tsbt di gramedia matraman. Sudah saya baca habis bukunya, bagus sekali cukup menginspirasi. Cuma anehnya buku tersebut di gramedia masuk dalam kategori pertanian, apa karena ada judul petaninya ya ?

  10. beliau adalah salah satu Wali Songo peroketan indonesia, dalam proyek “S” Space/Ionosfer/Angkasa Luar Indonesia, awal berdirinya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional th 1963…dalam meluncurkan roket-roket Kappa-8 di Pusat Antariksa Nasional Pameungpeuk-Garut pada tahun 1965.

Tinggalkan komentar