If You Want to Write

Saya ingin menulis fiksi (inginnya sih membuat novel) tetapi saya merasa tidak bisa. Sebagai orang yang berlatar belakang teknik (engineering), tulisan saya terkesan kaku. Ada dua pilihan, menyerah atau berusaha untuk memperbaiki cara menulis. Saya pilih yang kedua. Saya kemudian mencoba belajar dari tulisan banyak orang dan membaca banyak buku. Menulis di blog juga merupakan salah satu cara saya untuk belajar menulis.

Ada beberapa orang yang tulisannya menarik untuk dibaca. Nah, salah satunya adalah tulisan mas Moko Darjatmoko yang kadang muncul di milis alumni ITB. Nah, berikut ini saya sajikan contoh tulisan mas Moko. Tentu saja saya sudah mendapat ijin dari mas Moko untuk menampilkannya. Pas topik yang ditulisnya juga terkait dengan masalah tulis menulis.

Selamat menikmati. Mudah-mudahan Anda juga suka dengan tulisannya.

Catatan, saya sudah membaca buku Brenda Ueland yang disebut-sebut mas Moko di tulisan ini. Dapat bukunya juga dari mas Moko. hi hi hi 🙂

—– awal tulisan mas Moko —–

Ada beberapa email japri yang kuterima berkaitan dengan tulisanku belakangan ini. Umumnya aku tidak bisa menanggapi secara pribadi, tetapi ada hal-hal yang kalau dijawab aku rasa ada juga manfaatnya bagi publik [tanpa maksud sedikitpun untuk memulai syndicated-column curhat seperti “Dear Abby” :-]

Dear Pak Moko
Domisili skrg dimana toh Pak? asli sampeyan mana?
Klo saya asli Banyuwangi….
Saya terus terang pingin belajar nulis kaya sampeyan.
Saya ide banyak but when it comes to writing … ilang kabeh hehehehe
Salam kenal.

Aku lahir dan dibesarkan di Malang (tetapi kalau ada yang nanya “aslinya” darimana, biasanya kujawab “saking Madison” 🙂 Kedua orangtuaku adalah “priyayi” jawatengah, yang mengungsi kearah timur ketika perang kemerdekaan (awal 1950an), karena itulah aku fasih dialek halus (dalam lingkung rumah) maupun dialek kasaran-ngoko a la jawatimuran (pergaulan di kampung). Bahasa Indonesia dapat dari sekolah (blackboard grammar, kata seorang linguist disini). Aku baru mulai menulis (dalam bahasa Inggris) setelah hidup di negeri orang (Madison, Wisconsin), aku merasa perlu belajar, walau dari nol sekalipun, karena setiap kali berurusan dengan ekspresi diri selalu kelihatan yang paling ndlahom [jawatimuran, = bego]. Pertamakali mulai juga tidak langsung menghasilkan tulisan yang menarik, yang gayeng, yang enak dibaca (sambil nyruput kopi tubruk 🙂 … Menulis itu proses yang iterative, kalau dilakukan secara ajeg —today is better than yesterday– continuous small-step improvements macam ajaran Kaizen, lama-lama akan jadi menarik juga.

Apa yang musti ditulis? … ya, apa saja. Apanya itu tidak terlalu penting, tetapi yang paling mudah adalah tentang hal-hal yang kita sendiri intimate: pengalaman yang dialami sendiri atau perasaan pribadi (tanpa harus menjadi “curhat” cengeng atau pelampiasan narsistik). Hampir semua tulisanku adalah pengalaman pribadi, baru maupun lama, sepotong ingatan masa kecil yang masih survive, kejadian sehari-hari, atau apa yang sedang kugeluti (buku, pekerjaan, proyek, riset) with love … passionately! Astronomer Carl Sagan menjawab pertanyaan kenapa dia repot-repot menjelaskan science pada orang banyak;

Not explaining science seems to me perverse. When you’re in love, you want to tell the world.” [in “The Demon-Haunted World – Science as a Candle in the Dark“]

Kultur kita memang lebih condong kolektip ‘mangan gak mangan pokok kumpul‘ tidak mendorong ekspresi pribadi (individual). Tetapi kalau dipikir, itu kan aturan jaman doeloe untuk rakyat jelata (sebutan kolektip), sementara para elite kerajaan atau punggawa negeri dan celebritis tidak dilarang bersikap individual. Pendidikan modern seharusnya menghilangkan garis pemisah dikotomi rakyat-raja (feodalisme), dan setiap insan adalah individu yang utuh, as good as the next person. Jadi, pengalaman pribadi, ekspresi individu, personal narratives, menjadi penting, tidak kalah pentingnya dibandingkan “memoir” ex pejabat ini-itu [yang kebanyakan malah jadi sarana narsisisme atau memuji diri secara berlebihan … mirror, mirror on the wall .. who’s the fairest of them all.]

Anyway … singkatnya … jangan kuatir kalau mau cerita pengalaman pribadi [walau tidak merasa jadi “orang besar”]. Pengalaman kalian, kisah hidup sendiri, sangat penting — paling tidak bagi kalian sendiri, dan orang di sekitarmu. Berikut adalah tulisanku di milis lain beberapa minggu yang lalu — komentarku kepada seorang yang “njaluk sepuro” (minta maaf) karena telah menuliskan pengalaman pribadinya.

tabik,
Moko/

===== lampiran ======

Cak … sampiyan tidak perlu apologetik kalau nulis pengalaman pribadi seperti itu. Yang tidak lazim itu bukan ceritanya, tetapi ada something wrong dengan “kelaziman” di masyarakat kita saat ini. Personal narrative memang selalu subjektip, justru karena diwarnai oleh persepsi individu itulah maka ceritanya menjadi menarik. Tentu saja tidak semua orang harus sependapat, rambut bisa sama hitam (atau mungkin sekarang sudah salt ‘n’ pepper) tetapi isi kepala lain-lain.

Menurut pengamatanku selama ini (hampir 20 tahun), justru tulisan yang ditarik dari pengalaman pribadi seperti itu amat sangat jarang. Milis berbahasa Indonesia (artinya komunitas kita) sangat miskin akan cerita-cerita pribadi (personal narrative). Cerita umum saja sangat jarang, apalagi cerita serdadu. Seingatku sejak dulu pun cuma ada satu penulis kita yang cerita tentang kehidupan serdadu yaitu salah seorang novelis favoritku, Trisno Juwono. Penulis ini juga satu-satunya (selain Chairil Anwar – ingat patung dan sajak “Aku” di simpang jalan Kayutangan, Malang?) yang berani memakai first person singular “aku” dalam tulisannya — Ini yang membuat para kritikus sok sastrawan menafikan karya Trisno Juwono ini sebagai “kurang sastrawi” … So what?

Kami bertujuh selalu gembira melakukan tugas kami. Tomo jarang kelihatan bersedih meskipun dua jari tangan kirinya tak ada lagi. Jarang ia mengeluh. Marno tak seribut Tomo atau aku, tapi dalam kesungguhannya masih ada kelakarnya juga. Ia yang tertua di antara kami. Ratman mulai gugup. Sedikit bedanya dengan Mulyadi, sama kekanak-kanakannya. Geli aku kalau ingat waktu keduanya kembali sesudah dikejar Belanda. Keduanya menangis dan Mulyadi menyebut-nyebut ibunya. Ia sendiri merasa malu beberapa hari kemudian. — Trisno Juwono, Di Kaki Merapi.

Sementara ini, menurut pendapatku –juga sarat dengan subjektivitas pribadi– semuanya ini berkaitan dengan budaya atau mungkin fokusnya adalah bringing-up (bagaimana kita dibesarkan, dididik) yang membuat kita ini selalu dituntut untuk menampilkan wajah/sisi yang perfect. Dan karena perfection itu sulit dicapai, hasilnya kita ini seringkali wedi kleru. [Waktu kecil pun kita kenyang ditakut-takuti ini-itu oleh yang dewasa. Aku masih ingat dulu kalau nangis ditakut-takuti “akan dipanggilkan pulisi” …].

Obsesi akan perfection ini juga membuat pejabat-pejabat kita yang terhormat paling sedikit punya dua “wajah” atau penampilan (perilaku, omongan): wajah di rumah yang lebih “asli” dan wajah diluar yang “resmi.” Jangan heran kalau melihat seseorang yang kita kenal getol memberi nasehat anaknya dirumah supaya berlaku jujur, pada saat yang sama giat melakukan korupsi dikantor.

Manifestasinya dalam soal tulis-menulis, dalam soal ekspresi diri, kita ini punya kecenderungan wedi kleru. Takut kalau dianggap membual, takut kalau menyinggung orang, takut salah, takut dikritik … padahal selalu ada “sisi yang lain” dari setiap issue. Sisi lain atau kritik itu seharusnya dilihat sebagai informasi yang melengkapi, karena itu seharusnya kita tidak usah gamang atau ragu-ragu menyatakan pendapat atau perasaan hanya karena takut kleru. Kalau memang itu yang diyakini saat itu, itulah yang benar — mungkin saja dikemudian hari “kebenaran” itu harus dikoreksi, dengan masuknya informasi baru. Brenda Ueland, guru nulisku, dalam bukunya* menulis, “ … do not try to be consistent, for what is true to you today may not be true at all tomorrow, because you see a better truth.

Kembali ke laptop … aku sendiri juga merupakan produk dari masyarakat wedi kleru tersebut. I can’t write … I don’t know what to say … itu seperti awan kelabu menggantung dilangit ketika aku mulai harus hidup di masyarakat dimana ekspresi individu merupakan hal yang lazim. Menulis –from the heart– memang bukan merupakan skill yang mendapat perhatian dalam sistim pendidikan kita. Aku dulu tidak pernah merasa diajari menulis oleh guru-guruku. Sampai lulus ITB pun aku ini bisa dibilang tidak pernah menulis surat. Aku baru mulai menulis belakangan ini saja, belajar dari nol, dengan mulai menulis dan juga dengan mengamati tulisan anak-anak sekolah disini.

Sebetulnya alasan “tidak bisa menulis” itu juga tidak sepenuhnya betul. Bahkan seandainya manusia itu “betul-betul tidak bisa menulis” –literally buta huruf— masih banyak cerita di kepala yang bisa diceritakan. Yang saya maksudkan dengan “cerita” ini tidak musti kejadian yang spektakuler, yang kemudian menghiasi buku-buku sejarah, tetapi kejadian kecil sehari-hari yang kita alami. Bukankah hidup itu sendiri sebetulnya adalah rangkaian cerita-cerita kecil semacam itu, seperti dalam sebuah surat yang ditulis oleh seorang ibu kepada anaknya tujuhbelas tahun yang silam:

“A memory isn’t like a leaf perfectly preserved in amber for all time. We don’t remember a past event in itself, but rather our memory of that event. Subsequently we remember the memory of a memory. Thus our mind forever updates itself. Essentially memories are fictions. Each time we suppose that we are remembering, these fictions are being rewritten within ourselves, with ourselves as heroes or victims.”

Tabik,
Moko/

*) “Everyone is talented, original, and has something important to say” … The whole philosophy on writing is summarized in this first sentence, written by Brenda Ueland in her book If You Want to Write: A Book about Art, Independence and Spirit.

—– akhir tulisan mas Moko —–

13 pemikiran pada “If You Want to Write

  1. Wahh… pak BR kan udah jadi penulis tho ….. ini saya lg baca, pdf dari ilmu komputer … tulisan bapak bagus bagus, walaupun kata bapak sendiri agak kakau …

  2. saya lebih gampang mencurahkan isi hati lewat tulisan. Apalagi lewat blog, karena kalau secara lisan mungkin saya kurang begitu “Ngena”. Ini mungkin udah kebiasaan.. Mungkin. Tapi apapun itu, semua orang harus ngeblog !

  3. Saya lebih bisa menuliskan apa yg ada di kepala lewat buat lagu…makanya bingung mo buat blog apa? kalo lagu di blog malah dibajak abis-abisan hehe…
    Tapi ya mungkin emang kita harus belajar apa aja ya,bro..karena hidup kan adalah proses pembelajaran..
    Sukses selalu buat anda dalam dunia usaha dan blog deh…
    Peace 🙂

  4. hwa… aku pengen banget bisa lancar dalam menulis, pak. pengen berekspresi secara lancar, sehingga isi otakku yang banyak ini bisa tersalurkan dengan sempurna….

    (^_^)v

    semangat!

Tinggalkan komentar