Cara orang berkomunikasi ternyata terkait dengan kultur orang yang bersangkutan. Orang Amerika terbiasa berkata dengan blak-blakan. Orang Indonesia – dan mungkin Asia secara umum – cenderung tidak demikian. Kita cenderung berdiskusi di belakang layar.
Mari kita ambil contoh. Dalam perkuliahan, misalnya. Dosen sering bertanya kepada mahasiswa, “ada pertanyaan?” atau “ada yang belum dimengerti?”. Di Indonesia, biasanya pertanyaan seperti ini tidak mendapat tanggapan. Mahasiswa tertunduk, meskipun banyak yang belum mengerti. Setelah kuliah selesai barulah ada satu dua mahasiswa yang maju ke meja dosen dan bertanya. Halah. Mengapa tidak bertanya tadi-tadi? Kalau orang Amerika, biasanya bertanya ketika belum mengerti dan ada kesempatan untuk bertanya. Bahkan mereka akan mengacungkan tanya sebelum kita bertanya apakah ada yang ingin bertanya.
Ternyata kebiasaan ini terbawa juga ke dunia maya. Dalam sebuah mailing list, misalnya, ada diskusi. Kemudian ternyata ada yang berpendapat bahwa sebaiknya topik diskusi tersebut didiskusikan antar orang saja atau ketemuan di darat saja. Ini mirip seperti kondisi di kelas tadi. Yang mau nanya, nanti saja langsung ke dosennya. Kita tidak terbiasa berdiskusi di publik.
Dan ternyata kalau berdiskusi di publik pun, banyak yang ngaco. Masalahnya, mereka tidak terlatih untuk berdiskusi di publik. Adalah yang bicaranya muter-muter (lama sekali untuk mengatakan intinya), ngeyel kalau berdiskusi (berdebat), atau bahkan tidak fokus. Cape deh.
Ini masalah kultur. Tidak mungkin untuk diubah dalam waktu singkat. Entah apakah generasi nanti akan tetap sama atau berubah. Kalau melihat mahasiswa saya, nampaknya belum akan berubah. Oh well.
Sangat betul…..mungkin sudah menjadi kebiasaan turun temurun pak!
Mahasiswa yang berdiskusi di publik dan ternyata yang disampaikan itu muter-muter, tidak fokus, mungkin juga ada pengaruh budaya “yang penting tampil”, “yang penting narsis”, meski lemah pemahaman teorinya.
masih ada stigma “negatif” pada orang yg suka bertanya:
1.dianggap kurang cerdas karena tidak cepat menangkap apa yg diterangkan;
2. dianggap memperpanjang waktu kuliah padahal mayoritas mahasiswa sudah ingin keluar kelas;
Faktor lain, mungkin mahasiswa tidak tahu apa yang mau ditanya, mungkin konsentrasi nya kurang pada saat pencerahan hahaha..
Salam,
Hotelpadi.com (hemat biaya perjalanan anda)
Salam kenal
Ikut nyimak aja artikelnya.
Setuju Pak ! Suka banget ama tulisan ini, betul-betul menggambarkan kondisi yang ada.
Iya pak, ada kecenderungan untuk tidak bertanya/berdiskusi di depan publik karena takut salah dan ditertawakan karena tidak menguasai materi.
Tetap positive thingking aja untuk Indonesia kita 🙂
Apakah kebiasaan orang barat itu memang lebih baik, untuk berbagai keadaan?
Mungkin, mahasiswa perlu contoh dari dosennya. 😀
yap..ini masalah Timur..yang cenderung “pemalu”
1. Yang mo nanya takut dianggap sok pinter ama yang nggak nanya
2. Yang mo nanya takut dianggap bikin kuliah tambah lama sedangkan yang laen udah mau pada shopping n have fun
3. Yang nggak nanya menganggap yang nanya sok pinter
4. Yang nggak nanya menganggap yang nanya bikin kuliah tambah lama
5. Nggak ada reward bagi yang nanya, misalnya ada nilai tambahan
6. Kalo ada reward, yang nggak nanya menganggap yang nanya sok nyari nilai dan nyari muka
membaca posting ini saya jadi mikir-mikir lagi utk memberikan komentar (tapi ini sudah komentar), takutnya malah muter-muter<–orang Indonesia
saya juga malu-malu untuk berkomentar 🙂
gaya Komunikasi tsb memang punya orang indo
hanya dibelakang layar
budaya yg sulit diubah
di sma tempat saya mengajar sudah lebih baik pak. beberapa anak (mungkin karena tradisi di rumah) sangat aktif bertanya dan berpendapat. kecenderungan untuk tidak aktif dan berkomukasi di belakang layar masih ada namun lebih banyak yang aktif. tapi memang itupun tidak semua siswa.
sy sedang cari referensi imiah tentang hal ini sekarang, sayang sekali tulisan ini tidak bsa saya pake untuk jd referensi padahal issue ini sama dengan yg saya butuhkan.