Analogi Bitcoin

Sekarang Bitcoin sedang ramai diperbincangkan. Sebetulnya apa itu Bitcoin? Daripada menjelaskan tentang Bitcoin (atau cryptocurrency lainnya), lebih baik saya buat analoginya.

Katakanlah sekolah Anda ingin mengadakan acara bazaar. Di acara tersebut ada penjualan makanan dan minuman. Agar penjualan makanan dan minuman terkendali maka panitia membuat aturan bahwa pembelian makanan dan minuman dilakukan dengan menggunakan kupon. Kupon dijual dalam pecahan Rp. 20.000,-. Maka mulailah orang yang hadir di bazaar tersebut membeli kupon.

Untuk menghindari terjadinya fraud, penipuan, kupon palsu dan sejenisnya maka jumlah penjualan kupon dibatasi. Hanya ada 500 kupon yang tersedia.

Eh, ternyata makanan dan minuman yang ada di sana enak-enak. Maka orang mulai mencari kupon. Walah. Jumlah kupon yang tersedia ternyata terbatas. Maka mulailah kupon dicari. Tiba-tiba ada orang yang menjual kuponnya. Kupon yang harganya Rp. 20.000,- dijual seharga Rp. 25.000,-. Lumayan, untung Rp. 5.000,-. Malah ada orang yang menjual kupon itu dengan harga Rp. 30.000,-.

Begitu melihat kupon dapat dijual lebih mahal dari harga belinya maka orang mulai memperjualbelikan kupon. Kupon lebih dicari lagi. Harga makin naik lagi. Sekarang harga kupon menjadi Rp. 100.000,-. Wow!!

Lucunya, orang-orang tidak menggunakan kupon itu untuk membeli makanan. Justru jual beli kuponnya yang menjadi fokus kegiatannya.

Lantas bagaimana nasib penjual makanan dan minuman itu? Hmm … sebentar kita cek dulu. Ternyata jual beli makanan dilakukan dengan uang Rupiah saja karena daripada tidak ada yang beli dan kupon malah disimpan (dan diperjualbelikan) oleh orang-orang. Kupon tidak jadi solusi.

Bazaar akan selesai. Bagaimana nasib harga kupon setelah bazaar selesai? Anda tahu sendiri.

Update: yang ini belum tentu benar, tapi lucu saja. hi hi hi.

bitcoin-mania

36 pemikiran pada “Analogi Bitcoin

  1. Kupon-kupon itu akan menjadi collectable items Harganya terus melambung seiring dengan pertumbuhan jumlah penggilanya. Uang satu rupiah seri Sukarno tidak lagi digunakan sebagai alat tukar senilai satu rupiah namun diperdagangkan sebagai barang antik bernilai ratusan ribu rupiah.

  2. Sederhana analoginya, Pak. Dulu-dulu saya ketakutan untuk beli Bitcoin, waktu itu harganya masih di kisaran Rp. 5 Juta. Mending beli laptop karena lebih mendesak, dan sekarang bisa melonjak tidak karuan. Tapi, masih melirik ke jenis uang lain: Litecoin misal. Mendengar CEO, atau pendiri Litecoin, yang melepas semua Litecoinnya jadi mikir dua kali. πŸ˜€

  3. Panitia nya dituntut tuh, seenaknya aja ubah peraturan beli makanan minuman pake rupiah. Coba kalo ada pengumuman resmi kalo jual beli pake rupiah, pasti gk ada yang jual beli kupon lagi.

    Intinya analogi ini ngasal dan ada celahnya, tidak valid !

  4. Sebenarnya soal duit entah Rupiah atau Bitcoin itu setali tiga uang, menurut saya. Dulu adanya duit menggantikan logam mulia juga akal-akalan, nah sekarang karena di dunia maya duitnya juga duit digital. Mestinya kalo mo fair, apapun bentuk duitnya tetap ada logam mulia pendampingnya (yang bisa ditukarkan kembali suatu saat nanti). Saya malah terpikir, mungkin memang jalannya mesti begitu… logam mulia –> duit fisik –> duit digital –> logam mulia (siklus keniscayaan).

  5. kalo contoh “bazar” yang menggunakan bitcoin itu apa ya?
    bazar game online kah? atau semacam paypal?

  6. Masalahnya, blockchain itu kan tidak bisa langsung rupiah, atau dollar, atau fiskal konvensional. Karena itulah “kupon” itu akan terus diperjualbelikan.

  7. iya Pak, ekonomi sebenernya emg harus riil dan fundamental ya, klo finansial atau moneter ya ada dependensi ke kebijakan (atau ketidakbijakan) ekonomi, πŸ˜…

  8. Ya cukup mirip dengan kenyataannya. Bisnis memang seperti itu. Ada untung dan ada rugi. Kalo semuanya untung, darimana dapat keuntungannya klo tidak ada yang rugi.. he..

Tinggalkan komentar